Kamis, 19 Agustus 2010

Menjadi Ilmuwan dengan CTL

Contextual Teaching and Learning (CTL) atau“pembelajaran kontekstual” merupakan suatu konsep pembelajaran yang membantu guru dan siswa menghubungkan kegiatan pembelajaran dengan situasi dunia nyata di mana dia hidup. Konsep ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey yang menganjurkan agar kurikulum dan metodologi pengajaran dipertautkan dengan pengalaman dan minat siswa.
Dalam kelas kontekstual, guru bertugas untuk membantu siswa mencapai tujuannya sendiri. Guru lebih banyak berusaha dengan berbagai strategi daripada sekedar memberikan informasi. Di sini guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota tim (siswa). Dengan pendekatan ini, pembelajaran menjadi lebih terfokus pada siswa.
Pembelajaran CTL memiliki prinsip-prinsip dasar, yaitu: kebermaknaan (meaningfulness), penerapan ilmu (application of knowledge), berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), kurikulum yang digunakan harus standar (standards-based curricula), berfokus pada budaya (cultures focussed), keterlibatan siswa secara aktif (active engagement), dan asesmen autentik (authentic assessmen).
Atas dasar prinsip-prinsip tersebut, di dalam pembelajaran CTL, siswa belajar untuk mengerjakan pekerjaan yang berarti, mencari hubungan yang bermakna, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berfikir kritis dan kreatif. Pada dasarnya, CTL terimplementasi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan kepadanya.
Karenanya, implementasi Pembelajaran CTL tidaklah sulit dan dapat diterapkan di berbagai mata pelajaran pada setiap jenjang pendidikan di sekolah. Selama ini, upaya pengaitan bahan ajar dengan pengalaman baru diterapkan dalam beberapa mata pelajaran tertentu, seperti pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Itu pun, belum optimal.
Untuk mata pelajaran yang lain, para guru masih “terbelenggu” dengan teori-teori yang tidak mengakar dari kehidupan nyata dan pengalaman siswa. Mata pelajaran matematika misalnya, tetap saja tidak bisa dihadirkan sebagai “menu lokal alami” yang selalu menarik untuk “dilahap” siswa. Padahal, materi ajar matematika sangat banyak ditemui di kehidupan nyata siswa sehari-hari.
Konsep CTL dapat menjadi alternatif strategi belajar yang memberi banyak keuntungan bagi siswa dibanding pendekatan pembelajaran lainnya. Siswa diajak untuk belajar mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya. Siswa terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri konstuk keilmuan yang diminati dan diamatinya.
Layaknya seorang peneliti, siswa mempresentasikan “hasil penelitian”-nya dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Dengan cara ini, belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.
Apabila di masa lalu siswa dididik untuk membaca, mengerti, atau menghafal teori-teori yang terkadang tidak terkait sama sekali dengan budaya lokal/nasional, maka di sini siswa diajar untuk memahami budayanya dan menjadi problem solver atas masalah-masalah di sekitarnya.
Prinsip-prinsip CTL, semisal application of knowledge dan higher order thinking, senantiasa mendorong siswa memanfaatkan kemampuannya untuk berpikir kritis, analitis, dan sintetis terhadap suatu masalah berdasarkan pengetahuannya. Dengannya, siswa dapat membuktikan sendiri dan menemukan jawaban dalam menghadapi kehidupan di luar kelas yang penuh dengan masalah. Dan dengan konsep CTL ini pula, kita telah mendidik para siswa kita untuk menjadi seorang ilmuwan yang tidak hanya bergelut dengan teori-teori “melangit” yang tidak mengakar pada kondisi sosial dan budaya negeri ini. Tetapi menjadi ilmuan yang “mengakrabkan” teori dengan implementasi dan berperilaku lokal namun berpikir global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar