Kamis, 19 Agustus 2010

Keluarga Kunci Kesuksesan

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Seringkali kita dengar orang-orang yang membangun karir bertahun-tahun akhirnya terpuruk oleh kelakuan keluarganya. Ada yang dimuliakan di kantornya tapi dilumuri aib oleh anak-anaknya sendiri, ada yang cemerlang karirnya di perusahaan tapi akhirnya pudar oleh perilaku istrinya dan anaknya. Ada juga yang populer di kalangan masyarakat tetapi tidak populer di hadapan keluarganya. Ada yang disegani dan dihormati di lingkungannya tapi oleh anak istrinya sendiri malah dicaci, sehingga kita butuh sekali keseriusan untuk menata strategi yang tepat, guna meraih kesuksesan yang benar-benar hakiki. Jangan sampai kesuksesan kita semu. Merasa sukses padahal gagal, merasa mulia padahal hina, merasa terpuji padahal buruk, merasa cerdas padahal bodoh, ini tertipu!

Penyebab kegagalan seseorang diantaranya :

1. Karena dia tidak pernah punya waktu yang memadai untuk mengoreksi dirinya. Sebagian orang terlalu sibuk dengan kantor, urusan luar dari dirinya akibatnya dia kehilangan fondasi yang kokoh. Karena orang tidak bersungguh-sungguh menjadikan keluarga sebagai basis yang penting untuk kesuksesan.

2. Sebagian orang hanya mengurus keluarga dengan sisa waktu, sisa pikiran, sisa tenaga, sisa perhatian, sisa perasaan, akibatnya seperti bom waktu. Walaupun uang banyak tetapi miskin hatinya. Walaupun kedudukan tinggi tapi rendah keadaan keluarganya.

Oleh karena itulah, jikalau kita ingin sukses, mutlak bagi kita untuk sangat serius membangun keluarga sebagai basis (base), Kita harus jadikan keluarga kita menjadi basis ketentraman jiwa. Bapak pulang kantor begitu lelahnya harus rindu rumahnya menjadi oase ketenangan. Anak pulang dari sekolah harus merindukan suasana aman di rumah. Istri demikian juga. Jadikan rumah kita menjadi oase ketenangan, ketentraman, kenyamanan sehingga bapak, ibu dan anak sama-sama senang dan betah tinggal dirumah.
Agar rumah kita menjadi sumber ketenangan, maka perlu diupayakan:

Jadikan rumah kita sebagai rumah yang selalu dekat dengan Allah SWT, dimana di dalamnya penuh dengan aktivitas ibadah; sholat, tilawah qur'an dan terus menerus digunakan untuk memuliakan agama Allah, dengan kekuatan iman, ibadah dan amal sholeh yang baik, maka rumah tersebut dijamin akan menjadi sumber ketenangan.

Seisi rumah Bapak, Ibu dan anak harus punya kesepakatan untuk mengelola perilakunya, sehingga bisa menahan diri agar anggota keluarga lainnya merasa aman dan tidak terancam tinggal di dalam rumah itu, harus ada kesepakatan diantara anggota keluarga bagaimana rumah itu tidak sampai menjadi sebuah neraka.

Rumah kita harus menjadi "Rumah Ilmu" Bapak, Ibu dan anak setelah keluar rumah, lalu pulang membawa ilmu dan pengalaman dari luar, masuk kerumah berdiskusi dalam forum keluarga; saling bertukar pengalaman, saling memberi ilmu, saling melengkapi sehingga menjadi sinergi ilmu. Ketika keluar lagi dari rumah terjadi peningkatan kelimuan, wawasan dan cara berpikir akibat masukan yang dikumpulkan dari luar oleh semua anggota keluarga, di dalam rumah diolah, keluar rumah jadi makin lengkap.

Rumah harus menjadi "Rumah pembersih diri" karena tidak ada orang yang paling aman mengoreksi diri kita tanpa resiko kecuali anggota keluarga kita. Kalau kita dikoreksi di luar resikonya terpermalukan, aib tersebarkan tapi kalau dikoreksi oleh istri, anak dan suami mereka masih bertalian darah, mereka akan menjadi pakaian satu sama lain. Oleh karena itu,barangsiapa yang ingin terus menjadi orang yang berkualitas, rumah harus kita sepakati menjadi rumah yang saling membersihkan seluruh anggota keluarga. Keluar banyak kesalahan dan kekurangan, masuk kerumah saling mengoreksi satu sama lain sehingga keluar dari rumah, kita bisa mengetahui kekurangan kita tanpa harus terluka dan tercoreng
karena keluarga yang mengoreksinya.

Rumah kita harus menjadi sentra kaderisasi sehingga Bapak-Ibu mencari nafkah, ilmu, pengalaman wawasan untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anak kita sehingga kualitas anak atau orang lain yang berada dirumah kita, baik anak kandung, anak pungut atau orang yang bantu-bantu di rumah, siapa saja akan meningkatkan kualitasnya. Ketika kita mati, maka kita telah melahirkan generasi yang lebih baik.

Tenaga, waktu dan pikiran kita pompa untuk melahirkan generasi-generasi yang lebih bermutu, kelak lahirlah kader-kader pemimpin yang lebih baik. Inilah sebuah rumah tangga yang tanggung jawabnya tidak hanya pada rumah tangganya tapi pada generasi sesudahnya serta bagi lingkungannya.

Pro-Kontra 24 Jam Mengajar Siapa Mau Diajar?

Polemik penerapan mengajar 24 jam tatap muka di media massa memunculkan persepsi miring bahwa guru seakan-akan mau mangkir dari tugas, inginnya santai-santai, tidak mau bekerja secara penuh, tetapi harus menerima gaji utuh. Sudah sedemikian parahkah pemahaman mentalitas pendidik kita? Atau hanya persepsi yang keliru dan apa permasalahan sebenarnya? Tulisan ini berusaha mengurai benang merah dari sisi guru.

Ketentuan mengajar 24 jam tatap muka sebenarnya bukan barang baru. Sejak 15 tahun lalu, Keputusan Men-PAN No 84 tahun 1993 sudah mengatur hal itu. Guru juga sudah amat mengerti dan selama ini sudah melaksanakan kewajiban itu dengan dedikasi tinggi. Tanpa mengeluh soal kesejahteraan dan hanya sedikit berharap ada peningkatan serta jaminan kemudahan memperoleh pendidikan bagi putra-putrinya sendiri.
Melalui Permendiknas No 18/2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan, sekali lagi aturan ini diperinci. Sekali lagi, guru yang sudah lulus sertifikasi maupun yang tengah berjuang mengumpulkan portofolio, tidak ada yang mengeluh dan siap melaksanakan dengan senang hati. Guru sadar, atas nama tanggungjawab moral dan akuntabilitas publik, berapapun beban jam mengajar akan diemban dengan dedikasi tinggi.

KTSP Kurangi Beban Mengajar
Pada 2006, pemerintah mengeluarkan Permendiknas RI No 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi yang menyatakan bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah melaksanakan ujicoba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mulai ajaran 2006/2007. Khusus untuk wilayah Jawa Timur, KTSP serentak dilaksanakan pada bulan Januari 2007.
Nah, penerapan KTSP inilah yang menjadikan jam pelajaran berkurang secara signifikan. Hampir semua pelajaran terjadi pengurangan jam tatap muka kecuali mata pelajaran PPKn dan Pendidikan Agama. Pada mata pelajaran karakter jurusan terjadi pengurangan besar, seperti mata pelajaran Fisika untuk jurusan IPA kelas X, dari 5 jam tatap muka per minggu menjadi 2 jam tatap muka saja.
Untuk kelas XI memang tidak ada penurunan jumlah jam tatap muka, tetapi karena dikelas ini sudah ada penjurusan maka jumlah rombongan kelasnya juga mengalami penurunan. Untuk kelas XII terjadi pengurangan 2 jam tatap muka, dari 7 jam tatap muka menjadi 5 jam tatap muka pada klas XII. Jika diasumsikan ada 8 rombongan belajar, maka terjadi pengurangan 2x8 = 16 jam tatap muka.
Pada jurusan IPS, penurunannya lebih besar lagi. Sebagai contoh mata pelajaran Ekonomi kelas X berkurang 1 jam tatap muka per minggu dibandingkan pada klas I dan klas XII berkurang 5 jam tatap muka per minggu dibandingkan pada klas III. Bila dikalikan dengan rombongan belajarnya penurunannya akan sangat besar. Untuk mata pelajaran yang lain juga mengalami penurunan yang signifikan.
Pengurangan jam tatap muka pada penerapan KTSP ini awalnya direspon sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi guru. Maklum selama penerapan Kurikulum 1994 para guru seakan kerja rodi. Jangankan 24 jam tatap muka, lebih dari 28 jam tatap muka per minggu adalah hal yang biasa. Tidak ada masalah, para guru dengan ikhlas tetap melaksanakan kewajibannya mencerdaskan anak bangsa layaknya putra-putrinya sendiri.
Adanya beban mengajar yang berlebih hampir pada semua guru ini, beberapa Kepala Sekolah mengambil kebijakan internal menambah GTT (Guru Tidak Tetap). Keberadaan GTT selama ini telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit kepada sekolah, tidak ada perbedaan. Semua bergandeng tangan dengan mesra demi tugas mulia mencerdaskan anak bangsa. Hanya nasib yang membedakan. PNS digaji negara, GTT digaji sekolah..
Nah disinilah masalah mulai muncul, saat kembali ada tuntutan 24 jam mengajar, keadaan sekolah dari kekurangan guru menjadi kelebihan guru. Kondisinya menjadi tidak kondusif. Tidak ada lagi gandeng tangan. Sebagian guru ada yang saling berburuk sangka. Sebagian yang lain bersikap wait and see, untuk mendapatkan yang terbaik bagi dirinya sendiri, bukan untuk sekolah atau murid.
Terjadi ”perang dingin” memperebutkan jam mengajar. Khususnya guru yang telah lulus sertifikasi menuntut mendapatkan 24 jam tatap muka sebagai syarat mendapatkan tunjangan profesi. Sedangkan guru yang belum lulus sertifikasi juga menuntut 24 jam tatap muka agar segera disertifikasi. Guru yunior dan guru GTT menjadi terpinggirkan, tetapi merekapun tidak mau ketinggalan, menuntut 24 jam tatap muka karena mereka juga berhak mendapatkan sertifikasi. Kalau semua menuntut 24 jam tatap muka, lantas siapa yang akan diajar? Kemana kepala sekolah mencarikan siswa untuk diajar?

Guru dipojokkan
Kebingungan di level pelaksana ini, diperkeruh dengan berbagai statement dari berbagai pihak yang merasa paling tahu masalah pendidikan. Ujungnya bisa ditebak, pelaksana (guru) adalah pihak yang paling enak (baca: mudah) dipojokkan. Mulai terlalu banyak minum anggur reformasi, harus legawa, dan yang terakhir diminta kembali ke khitah. Bahkan ada yang membandingkan jam mengajar 24 jam tatap muka terlalu sedikit bila dibandingkan PNS lain yang mencapai 37 jam. Padahal jam tatap muka guru hanya 45 menit bukan 60 menit.
Jam kerja guru dan PNS lain sebenarnya tidak bisa dibandingkan, karena memang berbeda. 1 jam pelajaran analog dengan 1 SKS artinya 45 menit tatap muka, 45 menit membuat persiapan mengajar (RPP dan rencana tindakan), 45 menit koreksi, evaluasi, remidi dan konseling. Jadi kalau mau hitung-hitungan 1 jam pelajaran itu sama dengan 135 menit atau 2 jam murni lebih 15 menit. Kalau ini dikalikan 24 jam maka jam mengajar guru sebenarnya adalah 54 jam murni. Dan selama ini para guru tidak mengeluh, tetap legawa, tetap berada di-khitahnya, dan tetap bekerja dengan senang hati.

Solusi yang bukan solusi
Polemik di media masa juga menawarkan berbagai solusi diantaranya: (1) untuk memenuhi 24 jam tatap muka, guru dipersilahkan mencari tambahan jam pelajaran di sekolah atau madrasah lain baik negeri ataupun swasta sesuai mata pelajaran yang diampunya. Ini tidak menyelesaikan masalah dan tidak rasional karena masalah sebenarnya adalah berkurangnya jam pelajaran akibat perubahan kurikulum. Tentunya di sekolah lain juga mengalami masalah yang sama. (2). Mendistribusikan guru GTT ke pedesaan, solusi ini jelas tidak rasional, selain terkesan kejam masalah berkurangnya jam pelajaran juga terjadi di pedesaan karena kurikulumnya sama. (3) Mengajar pada Paket A, B, dan C sesuai bidangnya. Solusi ini bisa dicoba. Namun tetap tidak akan mampu menampung jumlah guru yang kekurangan jam mengajar. (4). Menjadi guru bina atau pamong pada pendidikan terbuka. Solusi inipun tetap tidak akan mampu menampung jumlah guru yang kekurangan jam mengajar.
Berbagai solusi yang dipolemikkan agaknya masih kurang aplikabel, masih jauh dari penyelesaian. Oleh karena itu upaya peninjauan ulang kebijakan mengajar 24 jam seperti yang banyak disuarakan patut didukung, bukan karena guru tidak mau mengajar tetapi lebih kepada siapa yang mau diajar?

Tiga Karakter Belajar

Banyak sekali gaya belajar yang bisa dipilih untuk belajar secara efektif. Tapi, sebelum memilih gaya belaajar, sebaiknya kamu mengenal dulu karakter dirimu sendiri. Tergolong tipe seperti apakah dirimu? Berikut tiga tipe karakter belajar dan cirinya seperti yang dirumuskan De Porter dan Hernacki.

Auditory Learners
Sesuai namanya, auditory learners adalah orang yang lebih mudah belajar dari mendengar. Ciri khas seseorang yang bertipe auditory learners biasanya sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja, mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik, senang membaca dengan suara keras, mudah dalam/dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara, menagalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai dalam bercerita, dan kalau sedang berbicara sangat fasih dan berirama. Ciri lainnya yang juga khas adalah kegemarannya akan musik, kesenangannya akan berdiskusi, lebih mudah belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada apa yang dilihat, lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humor/komik. Jika kamu tergolong dalam tipe ini, sebaiknya kamu memperbanyak porsi belajar dengan mendengarkan. Misalnya, mendengarkan pelajaran dari kaset.

Visual Learners
Orang yang tergolong dalam visual learners biasanya lebih mudah menangkap informasi berupa tulisan atau gambar. Mereka mempunyai cirri-ciri, suka kerapihan, suka segala sesuatu yang teratur, mementingkan penampilan, cermat dan teliti, senang membuat rencana, cepat dalam berbicara dan cakap dalam mengeja, lebih mudah mengingat apa yang dilihat ketimbang apa yang didengar, tidak mudah terganggu oleh kebisingan saat berkonsentrasi, dan lebih suka instruksi tertulis. Cirri khas yang lain, gemar membaca, suka membuat coretan tatkala berbicara ditelepon atau kala mengikuti rapat, sering lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain, sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat dan lebih suka mendemonstrasikan sesuatu ketimbang menjelaskannya dalam bentuk kalimat. Jika kamu tergolong tipe ini, kamu harus rajin membaca.

Kinesthetic Learners
Orang yang bertipe Kinesthetic Learners biasanya lebih suka berbicara dengan perlahan, dan banyak menggunakan bahasa tubuh saat berkomunikasi. Orang bertipe ini juga punya daya ingat kuat, suka menggunakan jari untuk menunjukan kata yang dibaca ketika sedang membaca, tidak dapat duduk diam untuk jangka waktu yang lama, sering kesulitan membaca peta, dan menyukai kegiatan atau permainan yang membutuhkan banyak gerakan fisik. Kalau kamu tergolong dalaam kelompok ini, biasanya kamu suka belajar dengan alat bantu. Misalnya, computer, di mana tangan kamu akan terus bergerak menekan tombol key board atau mouse.
Bingung, karena tidak ada yang pas banget dengan tipe dirimu? Wajar saja kok! Soalnya memang ada kalanya sesorang memiliki kecenderungan tergolong dalam dua atau tiga tipe sekaligus alias kombinasi. Dan yang perlu diingat nih, apapun gaya belajar kamu, kalau kamu sudah mengenalnya dengan baik, kamu bisa mencari pilihan gaya belajar yang pas agar hasilnya lebih efektif. (Sumber Koran Sindo/Maret 2006 dan sumber lainnya).

Mereka Seperti itu karena Gurunya

Kepandaian seseorang bisa diukur apabila ia bisa membuat orang lain menjadi pandai, kedisiplinan seseorang bisa dilihat bagaimana ia bisa memberi contoh tehadap tingkah laku yang baik kepada yang lain. Begitu juga sebaliknya kita akan membuat orang lain tersesat apabila kita tidak pernah paham atas apa yang sudah diperbuat. Sebagai seorang guru barang kali Inilah yang perlu dicermati, apa yang kita miliki itulah yang akan diberikan kepada murid kita.
Mencetak dan memelihara aset (generasi) masa depan perlu persiapan dan modal yang benar-benar memadai. Memperkaya, memperdalam, serta mengikuti pembaharuan ilmu pengetahuan akan sangat membantu menerapkannya, supaya yang kita berikan nanti bukanlah hal yang sudah kolot. serta jangan pernah melupakan kreativitas. Ya! Kreativitas, sering disepelekan bahkan dilupakan. Sebenarnya variabel ini juga bisa menentukan kesuksesan proses belajar-mengajar.
Pernah dengar ”Laskar Pelangi”? Lah apa hubungannya? Mari kita mengambil sedikit pelajaran disini. Pasti yang suka membaca novel atau suka ”jalan-jalan” ke 21 Cinema sangat-sangat mengerti. Kalau begitu tentunya kenal dengan Ibu Muslimah? si ”Ibu Guru” dalam karakternya mempunya kehidupan sederhana, bahkan boleh dibilang serba kekuranagan. Namun pada kenyataannya beliau (Ibu Muslimah) selalu mencoba untuk mengabdikan diri pada dunia pendidikan, selalu memberikan motivasi, dorongan, semangat untuk berkreasi, berinovasi terhadap siswanya yang memang bekecimpung dalam dunia kemiskinan. Perlu diketahui lagi, walaupun hidup dalam lingkaran kekurangan, Ibu Guru Muslimah tidak pernah sibuk mengurus sertifikasi, apalagi melakukan aksi untuk menuntut dijadikan PNS, yang merupakan kepentingan dirinya sendiri seperti yang terjadi akhir-akhir ini, beliau selalu berpikir bagaimana murid-muridnya bisa belajar.
Sebuah karya hebat dari Andrea Hirata yang menyajikan suguhan kritis terhadap dunia pendidikan, selain keprihatinan atas kemiskinan anak-anak bangsa yang juga ingin memperoleh hak pendidikan yang sama dengan yang lain, akan tetapi juga bagaimana seorang guru bisa membuat anak didik terus terpacu untuk berkreasi, berinovasi, bekerja keras dan belajar sesuai kurikulum yang ada. Inilah tugas berat yang disandang kita.
Profesi sebagai guru memang mulia, namun jangan pernah terlena dengan status yang dipunya. Banyak sekali yang harus direnungkan kembali, tidak hanya mampu membuat kaya akan pengetahuan serta meningkatkan kecakapan yang dimiliki, akan tetapi harus dibarengi dengan intelegensi emosional. Bukankah sangat bangga apabila melihat murid kita kelak jadi orang besar?. Coba tanya atau kita lihat saja bagaimana ekspresi mereka para guru SD yang dulu pernah mengajar ”Barrack Obama” presiden Amerika Serikat terpilih saat ini ternyata bisa menjadi pemimpin yang diharapkan oleh rakyat dunia. Mungkin mereka (guru SD OBAMA) sebelumnya tidak ingat lagi bahkan sudah melupakan dia (OBAMA) setelah tidak diajar lagi sampai sebelum menjadi Capres USA.
Terlepas dari sesuatu yang membanggakan dengan apa yang telah dipersembahkan, ternyata ada hal yang akan menjadikan kekecewaan dalam diri kita walaupun sulit mengakuinya. Ambillah kembali contoh BARRACK OBAMA, semua bangga menjadi bagian darinya, ”saya saudaranya, saya temannya, saya gurunya dulu yang pernah mengajar dia sehinngga menjadi seperti sekarang ” bahkan bangsa Indonesia pun bangga karena pernah menjadi ”tempat tinnggalnya”. Lantas kemana saja selama ini mereka yang merupakan bagian dari manusia-manusia yang tidak bermoral, Koruptor misalnya, lebih-lebih dari seorang guru, adakah yang secara gentle mengakui dan mengatakan ” saya gurunya dulu yang pernah mengajar dia sehinngga menjadi seperti sekarang” sepertinya mustahil ada pengakuan seperti itu.
Nah disinilah yang perlu ditelaah kembali, apa yang diberikan kepada anak didik kita, mampu membawa mereka kearah yang lebih positif. Akankah mereka memberikan kebanggaan atau kekecewaan yang susah untuk kita akui kalau sebenarnya itu juga adalah hasil produksi dari guru.
Berikutnya, mari memperkaya ilmu pengetahuan kita, menjaga tingkah-laku, memperbaiki moral dan akhlak demi mereka para penerus pejuang bangsa, tidak ada ruginya memulai dari sekarang meningkatkan kompetensi agar mampu membuat produk berkualitas yang akan bermanfaat bagi semua elemen nantinya.

Menggugat Semangat ‘Ngabdi’ Para Guru

Reformasi dan revolusi dunia menjadikan fungsi pendidikan sedikit berubah, dimana etika pendidikan yang sifatnya memberikan jasa kepada khalayak umum, berbelok ke arah finansial yang besar. Ketika berbicara masalah tenaga kependidikan, sekarang ini guru atau pendidik sering sekali melupakan kodratnya sebagai seseorang yang diharuskan untuk ngabdi (bekerja dengan rela dan ikhlas -red)
Namanya juga ngabdi, guru harus bisa menerima keadaan apapun. Seperti wejangan awal yang biasa diberikan oleh dosen atau dekan pada kampus kependidikan, bahwa guru memberi jasa kependidikan dalam masyarakat secara umum; baik di tempat yang maju ataupun sangat terpencil. Namun kondisi kekinian menunjukkan betapa tuntutan finansial kerap menjadi ukuran seseorang dalam menekuni profesi guru.
Pada era sebelum reformasi, dimana keterbukaan dan demokrasi belum tercapai, kondisi guru sangat parah. Mereka menjalankan tugas yang berat dengan penyeimbangan masukan yang kurang. Tak salah jika banyak kejadian yang menjadikan guru memiliki pekerjaan lain seperti berdagang, bertani, bahkan ada beberapa yang memilih sebagai pemungut barang bekas.
Kondisi ini tidak lain berakar dari kurangnya kesejahteraan yang diberikan pada guru, baik dari pemerintah atau dari masyarakat. Kerja nyambi seperti itu dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan yang dirasa perlu dipenuhi. Guru memang sebuah profesi utama, sehingga ketika seseorang sudah melangkah ke jalur tersebut, mereka harus bisa menjalankan kehidupan dari profesi itu.
Berbalik arah ke era reformasi dan keterbukaan dunia, profesi guru sudah beranjak membaik. Masalah kesejahteraan sudah diatur sedemikian rupa baik oleh pemerintah atau yayasan yang membawahinya. Banyak sekali kontroversi perdebatan yang muncul ketika profesi sebagai guru dihubungkan dengan paradigma awal sebagai seorang yang ngabdi.
Paradigma ngabdi ini sudah semakin luntur dengan keterbukaan demokrasi yang berani. Mereka menuntut adanya penyamaan rata antara jasa mulia yang diberikan dengan pemasukan yang dihasilkan. Banyak guru-guru sekarang yang bertugas dengan harapan imbalan besar, bahkan tuntutan akan kesejahteraan guru seakan-akan terlalu hiperbola.
Pemerintah sudah mengatur dengan baik, tetapi masih saja ada yang beranggapan tidak mendukung kesejahteraan guru. Ada banyak guru yang mendapat upah Rp 3.500 dalam memberikan materi selama satu jam. Kondisi ini jika dilihat dari kacamata kesejahteraan memang berada dibawah standar, tetapi guru harus bisa juga memposisikan keadaannya untuk mengarah pada kondisi ngabdi.
Keadaan seperti inilah yang dirasa sulit oleh guru, dimana mereka harus bersikap bijak antara ngabdi dan upah. Pemerintah juga harus memberikan motivator agar kinerja guru tetap berjalan demi keberhasilan tujuan dasar pendidikan. Menyimak situasi ini, presiden SBY pernah memberikan janji akan kenaikan gaji guru yang sudah dirasa harus dilakukan.
Paradigma ngabdi memang sudah berangsur luntur, sebutan pahalawan tanpa tanda jasapun mulai hilang karena pudarnya budaya awal profesi guru. Jika disimak dari segi kesejahteraan, tuntutan tersebut memang sangat diperlukan guna mengimbangi keadaan dunia yang semakin tak terbendung dari sisi ekonomi, tetapi kembali lagi ke paradigma awal ngabdi bahwa beberapa tuntutan tersebut kadang terkesan melunturi kodrat sebagai guru.
Kuantitas kata ngabdi sudah menurun berganti dengan sosok materi yang diunggulkan, tak khayal bila banyak terlihat kinerja guru yang memperhatikan materi, semakin banyak materi semakin tinggi kualitas yang diberikan dan sebaliknya. Kesimbangan antara paradigma dan tuntutan ini memang harus dilakukan, tidak hanya mengabdi tetapi juga menerima reward dari pengabdiannya, sebagai seorang pendidik perlu mengingat juga paradigma yang melekat sebagai profesi yang ngabdi, tidak terlalu muluk-muluk dan berjalan dengan kualitas yang terbaik.

Membimbing Anak Usia Dini menjadi Berprestasi

Anak, pada dasarnya, belum mampu mandiri, masih sangat labil, egosentris dan belum tahu apa itu prestasi. Anak juga tidak tahu akan kelebihan dan kekurangannya. Maka diharapkan orangtua, guru, pengasuh, anggota keluarga di sekitarnya yang dapat menyikapi hal-hal yang dialami anak dalam tumbuh kembang pada usia dini, sehingga kelebihan dan kekurangan tersebut terbimbing.
Sudahkah sikap dan tindakan orang dewasa berfihak pada anak? Atau justru anak berprestasi karena korban ambisi orang dewasa? Hal ini yang harus menjadi perhatian sebagai filter dan penyelesaian yang berfihak pada hak anak. Anak berprestasi karena potensi yang dimiliki direspon orang dewasa, atau anak tidak berpotensi namun dan berusaha berprestasi, maka kewajiban orang dewasa untuk membantu dan membimbing.
Prestasi secara umum adalah anak yang mampu belajar, mengatasi masalah pengelolaan emosional, sosialisasi, dan kemandirian. Prestasi dalam hal khusus adalah keberhasilan meraih kejuaraan dalam mengikuti lomba/ajang kompetisi yang diadakan Sekolah, Dinas Pendidikan, Lembaga/instansi lain maupun Perusahaan. Tulisan berikut adalah sepenggal pengalaman memberikan pengajaran untuk meraih prestasi secara umum maupun khusus.
Penulis berkeyakinan bahwa terdapat sebuah benang merah dalam hal pemberlakuan metode ajar dalam pencapaian prestasi siswa, yaitu pemahaman menyeluruh oleh guru sebagai pengajar mengenai manajemen pembelajaran. Terkait dengan capaian prestasi dan proses yang menyertainya, pembahasan yang disajikan lebih dititik beratkan pada tema membangun motivasi belajar siswa.
Sertain, dalam bukunya Psychologi Understanding of Human Behaviour Motif, menyatakan motif sebagai pernyataan yang kompleks didalam organisme yang mengarahkan tingkah laku atau perbuatan ke suatu tujuan atau perangsang. Sedangkan Duncan, ahli administrasi berpendapat dalam konsep menejemen motivasi berarti setiap usaha yang didasari untuk mempengaruhi perilaku seseorang agar meningkatkan kemampuannya secara maksimal untuk mencapai tujuan organisasi.
Divisi secara umum motivasi adalah suatu usaha yang didasari untuk menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan suatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. Motif dibedakan menjadi dua macam yakni motif intinsik dan motif ekstrinsik. Disebut motif intrinsik jika yang mendorong untuk bertindak ialah nilai-nilai yang terkandung di dalam obyek itu diri sendiri.
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan sehari-hari banyak didorong oleh motif ekstrinsik yakni yang mendorong untuk bertindak adalah obyek itu dari luar diri seseorang/anak.
Interaksi antara cara mengajar guru dengan anak berpengaruh pada hasil belajar. Cara mengajar guru yang menarik akan menantang siswa untuk berpikir dan berperan aktif sehingga akan mempengaruhi motivasi siswa secara positif. Penelitian menyatakan motivasi intrinsik merupakan multi konsep dari minat, persepsi, dan ketahanan belajar.
Motivasi murni bersifat efektif/ berkaitan dengan perasaan seseorang. Menurut Ames dan Archer mengubah motivasi berarti mengubah cara berpikir anak, memahami tujuan dan pembelajaran, serta melihat proses hasil pembelajaran dengan cara yang berbeda.
Tugas guru adalah membangkitkan dan membangun motivasi intrinsik yang sifatnya lebih karena kesadaran dan kemauan yang timbul dalam diri anak. Menghargai dan memberi kesempatan pada anak untuk banyak mengungkapkan celotehnya, dan eksplorasi sikap perilaku yang disikapi guru dengan pengarahan tutur kata serta tindakan sesuai tahap perkembangan anak.
Bagaimanapun, disekolah guru adalah satu-satunya motivator bagi anak. Segala ucapan dan tindakan guru menempatkannya sebagai malaikat dalam pola pikir anak. Kasih sayang, ketulusan, dan keikhlasan dalam membimbing sangat dirasakan pribadi anak.
Pemberian motivasi pada anak pada tahap awal bisa diberikan melalui tutur kata sapaan dan pujian. Langkah ini sangat penting bagi anak untuk merasakan keberadaannya dihargai. Sentuhan fisik seperti berjabat tangan, dan tepuk tangan untuk apapun yang berhasil anak lakukan juga tidak kalah pentingnya. Guru, dalam aktivitas anak, seberapapun kerepotan yang muncul, juga harus bisa memposisikan anak sebagai pribadi yang mampu.
Sedangkan sebagai inti dari komunikasi verbal adalah, melakukan kontak mata dengan pandangan melindungi serta memberikan ketenangan. Sedangkan pada sisi guru, dua model motivasi tersebut juga harus teraplikasi dalam bentuk komitmen keterbukaan terhadap kritik. Guru harus membuang jauh rasa segan bertanya pada figur yang profesional atau memiliki kompetesensi dibidangnya.
Setelahnya guru harus sanggup membentuk team work disekolah dan menjalin dukungan total dari orang tua. Dengan pemahaman manajemen pembelajaran motivasi seperti itu, capaian prestasi anak tidak akan lagi menjadi idaman belaka. (*)

Sertifikasi Guru-guru hanyalah akal-akalan pemerintah untuk menutup-nutupi kekurangan dana dan menambah penderitaan guru

Re: Uji Sertifikasi

Masak sih?? Jangan dulu berprasangka buruk atuh... ? Hanya emang ada yang nganjal dari mekanisme sertifikasi, paling tidak tiga hal berikut ini mas yang mesti dibenahi :
1. Validitas calon : ini jangan dianggap remeh, soalnya dengan iming-iming bersangkut paut dengan kesejahteraan kesalahan calon sertifikan akan menimbulkan kecemburuan sosial.
2. Instrumen Sertifikasi : koq kayaknya terlalu administratif & memiliki resiko manipulasi yang tinggi --Mungkin bangsa kita senang dengan manipulasi ???--. Kenapa tidak diciptakan instrumen lain yang lebih ringkas. Misal pergunakan test kemampuan untuk uji kelayakan, pantau kinerja guru berdasarkan laporan pimpinan setingkat cek oleh lpm, baru deh beri tunjangan.... ini misal ...
3. Jadwal : Ini merupakan hal penting dan satu sisi yang dpt dijadikan tolok ukur keseriusan pemerintah. Kapan disertifikasi, oleh siapa, pengumumannya kapan lewat mana, kapan mendapat tunjangan, sertifikasi kedua dst..... Ada ndak jadwal kerjanya ya??? Mudah-mudahan ada jadi bukan kerjaan srampangan, seremonial, temporer dan asal-asalan.
mdh2 an membawa dampak positif bagi kemajuan pendidikan... AMiin

Re: Uji Sertifikasi

hahahahaha .... yang lucu lagi di satu tempat ssssst ..... ada yang memakai tolok ukur yaitu lama kerja bukan skor? wis wis arep dadi apa pendidikan nanti?

Re: Uji Sertifikasi

kita jangan berprasangka buruk dengan niat baik pemerintah, yang perlu kita prasangka adalah pelaksana di lapangan. guru dicetak oleh dosen, dinilai oleh dosen, sementara dalam hal berbeda guru bukan dosen (cara mengajar, persiapan mengajar, fasilitas, status, tunjangan dll, ada kesan guru menjadi biang rendahnya mutu pendidikan padahal yang mencetak calon guru adalah dosen atau perguruan tinggi. pernahkah dosen menjadi pembicaraan rendahnya mutu..

Re: Uji Sertifikasi

Kalau kenyataannya guru-guru hanya membuat portfolio yang mengada-ada, apa yang mau dicapai dari uji sertifikasi guru? Mereka rela meninggalkan kelas hanya demi mengumpulkan portfolio. Mengikuti banyak seminar tetapi tidak jelas hasilnya, hanya demi portfolio. Padahal guru yang kompeten adalah guru yang setia pada profesinya. Tidak meninggalkan anak didiknya untuk kepentingan pribadi. Kalau melihat tuntutan uji sertifikasi sekarang ini, guru-guru berlomba mengumpulkan portfolio sampai lupa pada tugas pokoknya yaitu mendidik. Menurut saya, kompetensi guru hanya bisa dilihat secara jelas melalui institusi sekolah masing-masing tempat di mana guru tersebut mengajar. Lalu, apa sebenarnya yang mau dicapai uji sertifikasi? Profesionalisme guru atau peningkatan mutu pendidikan? Bagaimana kriteria guru yang profesional, selalu meninggalkan kelas demi portfolio atau setia pada pekerjaannya mengajar di kelas, memantau perkembangan anak didiknya? Kalau guru dibebani terlalu banyak administrasi, maka tugas pokok mengajarnya akan terbengkalai. Semoga ini menjadi bahan pertimbangan.

Re: Uji Sertifikasi

Guru adalah jabatan profesi. pada dasarnya, semua guru pasti professional dalam bidangnya, yaitu mendidik dan mengajar. Maka tidak perlu lagi ada uji sertifikasi. Benarkan?

GURU DAN RELASI KOLEGIALITAS

Seorang guru tidak pernah menjadi hebat, sendirian saja. Atau seorang Kepala sekolah tidak akan pernah menjadi kepala sekolah hebat tanpa di dukung oleh guru-guru yang hebat pula. Untuk menjadi sama-sama hebat, mereka membutuhkan hubungan kolegialitas saling membutuhkan. Hubungan yang bersifat kolegial dapat memperkuat eksistensi sekolah berbudaya efektif. Sekolah efektif itu, sekolah yang mampu memberdayakan secara maksimal fungsi-peran-kemampuan guru dan kepala sekolah menjadi proses pem-budaya-an sekolah efektif.

RELASI DEMOKRATIS, DIALOGIS: guru-guru-kepala sekolah
Dalam era pendidikan yang bersifat terbuka dan demokratis, sewajarnya hubungan antar guru juga bersifat terbuka, dialogis, demokratis dan saling membantu untuk mengembangkan kwalitas profesi dan pendampingan peserta didik. Sifat relasi demokratis ini, sesungguhnya berdasar pada kesadaran akan kesamaan derajat dan nilai. Bukan otoriter. Ada ”ruang” untuk mengemukakan pendapat, berbicara secara terbuka antar guru dengan guru sebagai teman sekolega. Atau antara guru dengan pimpinan sekolah.
Tapi dalam banyak kasus, hubungan struktural antara guru dengan kepala sekolah sering terhambat. Guru (umumnya guru muda) takut kepada kepala sekolah. Sehingga menciptakan hubungan yang tidak harmonis. Relasi disharmonis antar warga sekolah dapat berdampak kontra prestasi.
Relasi disharmonis bisa jadi, karena beberapa faktor penghambat. Bisa dari internal guru sendiri, atau eksternal, misalnya: a). Kepala sekolahnya jauh, main kuasa, tidak akrab dengan gurunya. b). Guru takut dinilai kepala sekolah. Atau c). model kepemimpinan yang tidak tepat / tidak kena kepada orang-orang yang dipimpin. Kepala sekolah yang main kuasa terhadap guru, dan otoriter dalam kepemimipinannya, perlu penyadaran bahwa mereka sendirian tanpa diperkuat guru, tidak mungkin menyelenggarakan pendidikan di sekolah secara efektif.

Pola relasi guru – guru - kepala sekolah, dalam tugas persekolahan merupakan perwujudan ”paguyuban” warga sekolah. Paguyuban yang berlandas pada satu kepentingan, pelayanan mewujudkan pendidikan bermartabat dan berkwalitas

Faktor Alam Bawah Sadar dalam Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 88 persen hidup manusia dikendalikan oleh pikiran bawah sadar, sisanya oleh pikiran sadar. Baik buruknya seseorang amat dipengaruhi alam bawah sadar mereka. Seorang penjahat atau koruptor, amat tahu dan sadar bila perbuatannya itu tidaklah benar, melanggar hukum dan merugikan orang lain. Tapi toh mereka masih juga melakukan.
Bila dikaji lebih jauh, pikiran bawah sadar tidak bisa memberikan gambaran atas kata sifat atau perintah. Ia hanya bisa mengimajinasikan kata benda atau kata kerja. Pada anak usia bawah lima tahun, saat diminta ‘jangan lari’, dia akan berlari. Pada orang dewasa pun, meski sudah ada perintah ‘jangan atau dilarang merokok’, tetap saja perintah ini tidak memberi hasil maksimal.
Hal ini mungkin terjadi mengingat pikiran bawah sadar dan imajinasinya tidak bisa menggambarkan kata ‘tidak’ atau ‘jangan’. Ketika mengatakan ‘jangan lari’ pada anak kecil, imajinasi yang tergambar malah orang yang sedang berlari, bukan orang berhenti berlari. Demikian juga pada larangan merokok, imajinasi yang muncul malah gambar rokoknya. Maka orang tetap saja merokok walau dilarang.
Pikiran bawah sadar lebih peka terhadap gambar, Gambar porno yang ada di ponsel para pelajar sekarang sangat mempengaruhi mereka. Maka terjadilah perilaku untuk mempraktikan. Jangan heran banyak beredar video pelajar di internet, banyak berita perkosaan, pelecehan seksual dan lainnya. Jika gambar iklan rokok dipasang cowok yang ganteng dan gagah, maka pikiran bawah sadar kita akan mengikutinya.
Maka sebaiknya bila larangan merokok diganti dengan gambar-gambar pasien rokok, iklan narkoba ditampilkan korban akibat narkoba, atau gambar korban kecelakaan akibat kebut-kebutan. Sebaiknya kita juga mencari kata-kata yang bersifat positif dan tegas dalam mendidik anak, misalnya jangan katakan kepada anak ‘jangan boros’, tetapi ‘berhematlah’, ‘jangan nakal’ tetapi ‘berbuat baiklah’, ‘jangan berdusta’ tetapi ‘jujurlah’.
Otak bawah sadar berfungsi sebagai pengendali kebiasaan dan tempat imajinasi. Ingat kasus anak memenggal temannya sendiri gara-gara seringnya menonton film “hakim Bao” yang menghukum dengan memenggal. Ingat pula smack down yang memakan korban anak usia SD, ingat juga seorang kakek yang tega memerkosa cucunya sendiri, atau seorang paman tega memerkosa keponakannya lantaran seringnya nonton film porno, Ingat kekerasan dikalangan pelajar, adanya Gang perempuan, aksi demo anarkis yang memicu aksi berikutnya untuk anarkis, hal ini sumbangsih dari referensi negatif yang telah membekas di memori.
Film/sinetron yang menampilkan perselingkuhan, hamil diluar nikah, aborsi, pacaran yang berlebihan, rebutan warisan, berorientasi uang dan sebagainya, hal ini telah mengganggu perkembangan kepribadian dan sangat berbahaya untuk dikonsumsi. Semakin banyak masyarakat melihat gambar kekerasan semakin mudah juga orang melakukan kekerasan, lihat saja berita di TV atau koran sepertinya makin lama makin banyak kasus kekekasan, pembunuhan, perkosaan termasuk mistis.
Kesemuanya itu jika terus menerus masuk ke memori otak, maka lambat laun peristiwa itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan mungkin bisa jadi benar dan ingin menirunya, dalam hal ini yang bekerja adalah otak (pikiran) bawah sadar, bukan otak (pikiran) sadar, jika pikiran sadar yang bekerja, maka pelaku akan mempertimbangkan konsekuensi dari apa yang akan dan telah dilakukan.
Baik dan buruk, benar atau tidak itu hasil kerja dari pikiran sadar, sedangkan pikiran bawah sadar tidak mengenalnya. Tugas kita bersama untuk menjaga kemurnian kasadaran. Pastikan generasi penerus kita tumbuh tanpa mengenal referensi hidup yang negatif (kekerasan, korupsi, perkosaan, perselingkuhan dll), tetapi mereka mengenal referensi yang positif ( kasih sayang, rukun, kerjasama, saling menghormati, harmonis, humanis, disiplin, bertanggungjawab, prestasi dll).

MEMAHAMI KEBERAGAMAN KEMAMPUAN PESERTA DIDIK

Ternyata kemampuan anak itu berbeda
Hal ini sejalan dengan teori bahwa pada dasarnya ada 7(tujuh) kecerdasan yang dimiliki manusia, diantaranya meliputi kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematik, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal , kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal (Gardner, 1983).
Berbicara kemampuan yang dimiliki seseorang tak dapat dilepaskan dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Di mana seseorang disebut sukses, apabila hidup dengan harta berlimpah , memiliki fasilitas lengkap untuk melakukan aktivitas apa saja yang disukai. Namun ukuran sukses bagi seorang siswa adalah bila nilai mata pelajaran yang diujikan secara nasionalnya berada diatas kriteria . Memang ukuran idealnya sukses bukan hanya diukur dengan nilai mata pelajaran yang diujikan secara nasional saja, akan tetapi juga karena kemampuan mengelola emosi dan mental spiritualnya.Tak dapat disangkal kecerdasan intelektual dapat menentukan kelulusan seorang siswa, tetapi bila tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kegagalan, tetap saja berbahaya bagi kelangsungan hidupnya di masa depan. Belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah persiapan mental spiritualnya. Belajar dan berdoa.
Sebagai pendidik yang kebetulan bukan termasuk penyaji materi pelajaran yang di ujikan secara nasional, penting kiranya mengetahui bakat siswa yang memiliki kelemahan dalam salah satu pelajaran yang diujikan secara nasional, akan tetapi istimewa untuk salah satu pelajaran non nas.
Letak pentingnya adalah, perhatian guru terhadap siswa sangat mempengaruhi motivasi pribadi siswa. Terutama bila siswa merasa respek dengan guru tadi. Mengingat dalam keseharian siswa perlu tokoh yang dijadikan pola anutan untuk mempersiapkan masa depannya.
Siswa perlu mengetahui, bahwa dirinya sangatlah berarti di mata Sang Pencipta.
Menyadarkan siswa akan potensi dirinya, diperlukan kearifan pendidik. Pendidik ataupun orangtua sebagai pendidik pertama dan utama, perlu melakukan upaya yang dapat mengembangkan potensi siswa secara maksimal. Bakat yang dimiliki anak perlu kita cermati dengan jeli dan penuh perhatian. Siswa sebagai pribadi yang unik, dengan bakat dan minat tentu berbeda satu dengan yang lain. Maksudnya kita layak memperhatikan keunikan tadi, serta tidak menganggapnya sebagai kertas putih yang siap ditulisi apasaja, apalagi menganggapnya sebagai bejana kosong yang siap untuk diisi. Di era serba cepat ini, teori tadi perlu dipikirkan lagi.
Upaya positif untuk mengembangkan potensi yang dimiliki siswa adalah hal yang mutlak.Meskipun terkadang potensi siswa yang kita kembangkan tidak selalu berupa mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Tentunya, hal ini sudah disadari oleh para pakar pendidikan. Kalaupun materi ujian nasional tetap dilaksanakan, tentu tidak lebih hanya sebagai tolok ukur secara nasional. Namun parahnya ujian nasional itu juga menentukan gengsi sekolah. Sehingga jangan heran bila segenap daya dan dana diupayakan untuk mengeksploitasi siswa agar mendapatkan nilai ujian nasional semaksimal mungkin.
Masih lumayan, bila saja sekolah juga memperhatikan kegiatan non akademik yang berupa kegiatan pengembangan potensi siswa, bagaimana bila tidak?
Sebagai contoh pengalaman empiris sepuluh tahun yang lalu ada seorang siswa yang membuat penulis tertegun karena hafal dengan ciri tembang macapat untuk mata pelajaran Bahasa Jawa. Tertegun, karena ada sebelas jenis tembang macapat (asmaradana, dandhang gula, durma, gambuh, kinanthi, maskumambang, magatruh, mijil, pangkur, pucung, sinom) dengan paugeran guru lagu, guru wilangan bahkan guru gatra yang berbeda. Pernah juga penulis tertawa karena ada seorang siswa berasal dari suku Sunda yang merayu penulis untuk memberikan les Bahasa Jawa. Bagaimana tidak tertawa melihat kenyataan ini, karena penulis tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk mengajar Bahasa Jawa. Tugas ini penulis terima, hanya karena banyak teman guru yang tidak mau mengajar bahasa Jawa, karena kesulitan menggunakan pengantar bahasa Jawa. Kalaupun pilihan tugas jatuh kepada penulis adalah karena lulusan Sekolah Pendidikan Guru, yang mendapat pelajaran bahasa Jawa lebih banyak daripada lulusan SMA. Disamping itu juga untuk memenuhi tuntutan jam mengajar . Di lain kesempatan seusai mengajar pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, seorang siswa meminta penulis menjelaskan tentang peristiwa lahirnya Supersemar. Pada masa itu membicarakan peristiwa lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret haruslah seperti dalam buku teks. Ada alasan politis yang tidak mungkin dijelaskan.
Beberapa contoh di atas membuat penulis heran,mengingat mata pelajaran yang penulis berikan bukanlah pelajaran yang diujikan secara nasional. Beberapa contoh di atas sengaja penulis tampilkan karena saat ini mereka sudah terjun di masyarakat dengan pekerjaan yang diperhitungkan. Untuk situasi yang dilanda krisis seperti sekarang ini, mereka tampak tidak tergoyahkan dalam bekerja, bahkan mereka nampak sangat percaya diri. Sekali lagi ,baru berdasarkan pengalaman empiris saja, siswa yang memiliki nilai mata pelajaran yang diujikan secara nasional baik, biasanya nilai pelajaran non nas juga baik. Bisa juga siswa yang memiliki satu keunggulan dalam salah satu mata pelajaran non nas , akan menjadi anak yang percaya diri. Hal ini akan memotivasi siswa yang bersangkutan untuk lebih giat belajar mata pelajaran nas. Sehingga pengurangan jam mata pelajaran non nas apalagi sampai menghapusnya dari kegiatan tatap muka menjelang ujian nasional merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Nasib baik , yang oleh orang dikatakan sebagai kesuksesan bukan hanya ditentukan oleh nilai mata pelajaran yang diujikan secara nasional.Meski tidak dapat dipungkiri , kecerdasan logis matematis sangat berhubungan dengan daya nalar seseorang. Gardner(1983) berpendapat“Siswa yang memiliki dan mengembangkan kecerdasan linguistik dan logis matematis dijamin pasti akan berhasil dalam situasi sekolah tradisional”
Masalahnya bagaimana kalau sekarang mendapati siswa yang dikategorikan ke dalam bimbingan kelas khusus karena mengalami kesulitan dalam menyerap pelajaran matematika, bahasa inggris atau IPA , malah tidak ikut bimbingan?
Tidakkah mereka menyadari masa depan yang dipersiapkan Tuhan untuk mereka, bukanlah sesuatu yang dapat diambil dengan gratis. Melainkan harus diperjuangkan dengan sungguh sungguh untuk meraihnya. Bertanya, menjelaskan dan kreatif dalam mengerjakan tugas pelajaran non nas, bukankah ini kecerdasanyang terpancar?
Sadarkah bapak dan ibu guru akan hal ini?
Karena bila siswa mendapatkan penghargaan sesuai potensi dirinya yang kebetulan bukan pelajaran nas, maka siswa tersebut akan menjadi percaya diri. Serta mantab dalam mempersiapkan masa depannya menghadapi tantangan global, dengan cara belajar sungguh sungguh. Adakah ini penting?

Pembelajaran Lewat Teori Kecerdasan Majemuk

Setiap anak memiliki kecerdasan dan kemampuan berbeda dalam memahami sebuah mata pelajaran. Seorang pendidik harus bisa memahami kemampuan mereka secara personal. Seorang pendidik tidaklah boleh memaksakan siswanya untuk memahami setiap pelajaran dengan pemahaman yang sama dan sempurna dengan satu takaran kecerdasan, sebab keadaan anak dalam satu kelas berbeda-beda.
Dengan segala macam keadaan siswa, kewajiban seorang pendidik adalah mengakui keberadaannya dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Seorang pendidik harus mengakui dan menghargai bakat dan hasil karya siswa-siswanya. Teori kecerdasan Majemuk mungkin lebih tepat untuk digunakan oleh para pendidik untuk mendampingi siswa-siswanya dalam belajar.
Teori Kecerdasan Majemuk merupakan validitas tertinggi terhadap gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting. Pemakaian teori ini dalam pendidikan sangat beruntung pada pengenalan, pengakuan, dan penghargaan terhadap setiap minat dan bakat masing-masing pembelajar. Howard Gardner mengidentifikasikan kecerdasan menjadi tujuh macam.
Pertama, Lingistik (berkaitan dengan bahasa), kecerdasan ini diungkapkan dalam bentuk kata-kata. Mereka yang memiliki kecerdasan ini gemar membaca dan menulis serta memiliki kemampuan mengolah kata secara tulisan maupun lisan. Kedua, Logis-matematis (Nalar logika dan matematika), kecerdasan ini berhubungan dengan kemampuan ilmiah.
Mereka gemar bekerja dengan data, mengumpulkan, dan mengorganisasi, menganalisis serta mengintepresentasikan, menyimpulkan kemudian meramalkan. Mereka melihat dan mencermati adanya pola serta keterkaitan antar data. Kecerdasan ini sering dipandang dan dihargai lebih tinggi dari jenis-jenis kecerdeasan lainnya, khususnya masyarakat teknologi saat ini. Kecerdasan ini dicirikan sebagai kegiatan otak-kiri.
Ketiga, Spacial (Ruang dan Gambar), orang yang memiliki kecerdasan ini cenderung berpikir dalam atau dengan gambar dan cenderung mudah belajar melalui sajian-sajian visual seperti film, gambar, video, dan peragaan yang menggunakan model atau slaid. Mereka suka melukis, menggambar atau mengukir gagasannya dan suuasana hatinya melalui karya seni. Mereka juga mahir dalam menyusun puzzle.
Keempat, Musikal (Musik, irama, dan bunyi/suara), orang yang memiliki kecerdasan ini biasanya peka dengan suara atau bunyi-bunyian. Terutama nada dan lagu. Mereka memiliki kemampuan memadukan nada dan dapat mereproduksi melodi. Kelima, badani-Kinestik (badan dan gerak tubuh), orang yang memiliki kecerdasan ini memproses informasi melalui sensasi yang dirasakan pada badan mereka.
Mereka tak suka diam dan selalu ingin bergerak terus. Mereka sangat baik dalam ketrampilan jasmaninya. Mereka juga menyukai olahraga dan tarian. Keenam, interpersonal (antar pribadi, sosial), orang yang memiliki kecerdasan ini menyukai kerja kelompok. Mereka menyukai untuk menjadi mediator dalam beberapa masalah atau pertikaian yang terjadi disekitarnya.
Ketujuh, intrapersonal (Hal-hal yang sangat mempribadi), mereka yang memiliki kecerdasan ini bisa memahami dirinya sendiri. Biasanya mereka mandiri, tak tergantung pada orang lain. Umumnya mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dari ketujuh kecerdasan di atas tentunya berbeda yang dimiliki setiap anak. Cara mereka dalam menerima dan memahami pelajaran pun berbeda-beda.
Seorang siswa yang memiliki Kecerdasan Logis-Matematis mungkin lebih cepat memahami pelajaran matematika dari pada mereka yang memiliki Kecerdasan Linguistik. Begitu juga mereka yang memiliki Kecerdasan Musikal akan lebih cepat mengenal dan menghafal sebuah nada dari pada mereka yang memiliki Kecerdasan Logis-Matematis.
Jika seorang pendidik mampu membedakan kecerdasan-kecerdasan tersebut pada tiap anak didiknya, dan mampu memahami dan mengolahnya, tentunya akan mendapatkan hasil yang maksimal. Karena setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dan kemampuan mereka ingin sama-sama diakui oleh gurunya. Bukan hanya yang memiliki kecerdasan matematik saja, karena lebih terlihat jenius. Tapi mereka yang suka menulis dan bernyanyi pun ingin mendapatkan pengakuan dan pujian dari gurunya.
Tujuh kecerdasan di atas juga dapat di pautkan dan akan menghasilkan hasil yang lebih maksimal, karena adanya kerja sama untuk menyempurnakan kekurangan dan kelebihan dari masing-masing kecerdasan. Apalagi kecerdasan yang dimiliki seorang anak tentunya berbeda-beda. Dan pastinya setiap anak memiliki lebih dari satu kecerdasan.
Dari situ juga seorang pendidik juga bisa menyatukan kecerdasan mereka dengan mengadakan sebuah even di kelas, dengan mengikut sertakan semua anak didik sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pastinya dari perpaduan tersebut akan menghasilkan hasil yang maksimal. Wallahu A’lam!

Inti dari Mengajar adalah Memotivasi

Dengan wajah lesu, seorang guru keluar dari kelas. Nampak ia gusar lantaran dalam KBM yang baru dilakukan mengalami kegagalan. Dari wajahnya, rasa capek dan hampir putus asa terlihat, apalagi satu bulan sepuluh hari kedepan sudah ujian nasional. ”Diremidi pada materi yang sama dan berulang-ulang, bahkan hingga 5 kali tetap nilainya belum tuntas,” gusarnya dengan wajah memerah.

Sebagai kepala sekolah, penulis beberapa kali mengamati tidak kurang sepuluh guru terkait dengan motivasi mereka sebelum mengajar. Hasilnya cukup mengejutkan, hanya 10 persen saja guru yang memulai pembelajaran dengan motivasi lebih pada peserta didiknya. Padahal peran motivasi ini sangat memengaruhi keberhasilan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bagi penulis, inti dari mengajar adalah memotivasi.
Penelitian William James mengungkap bahwa seseorang akan dapat menggunakan hampir 80 persen kemampuan mereka apabila ia termotivasi dengan baik. Pada kondisi gagal sekalipun, mereka akan melipatgandakan upaya sampai benar berhasil. Tidak mengherankan bila siswa yang memiliki motivasi tinggi cenderung berhasil dalam tugas-tugas sekolahnya dan cenderung lebih pintar sewaktu kelak menjadi dewasa.
Maka seorang guru harus jeli sebelum menyampaikan pelajaran. Alangkah baiknya melihat satu persatu kondisi peserta didik. Kadang ada siswa yang masih ngoroti pensil, ada yang tegang, ada yang mengantuk, dan ada juga yang masih mengerjakan PR karena begitu takutnya akan hukuman. Menghadapi situasi ini salah satu cara mencairkan suasana dengan menanyakan kabar; ”Anak-anak, apa kabar hari ini?”
Selanjutnya saat menyampaikan pelajaran, guru hendaknya lebih dulu menyampaikan materi apa yang akan kita pelajari termasuk apa manfaatnya dan ruginya bila tidak menyimak. Ini penting untuk memastikan kondisi anak siap menerima pelajaran juga dalam rangka menyertakan dan memikat merekasehingga menciptakan jalinan dan kepemilikan bersama untuk menumbuhkan “kebutuhan untuk mengetahui”.
Penulis sering menjumpai guru datang tanpa persiapan. Setelah salam guru langsung memerintahkan anak untuk membuka LKS; halaman sekian, kerjakan poin A, B dan C. Setelah itu guru sibuk dengan LKG (lembar kerja guru), entah itu menyelesaikan LPJ kepanitiaan yang belum rampung atau mengerjakan persiapan mengajar yang sering diingatkan kepala sekolah, atau kesibukan yang lainnya.
Malah ada guru ketika selesai menjawab salam langsung memberi tugas dengan sistem CTL. Tapi bukan Contextual Teaching and Learning melainkan Catat Tinggal Lungo; siswa diberi tugas mencatat lalu di tinggal pergi karena suatu urusan guru yang belum terselesaikan. Kalau tidak begitu, guru menerapkan sistem CBSA (Catat Buku Sampai Abis). Model seperti ini bisa diibaratkan pertandingan sepakbola.
Anak-anak belum melakukan pemanasan dalam pembelajaran, langsung menuju medan pertandingan. Bisa dipastikan mereka cepat lelah, konsentrasinya tidak bertahan lama dan merasa jenuh dengan model pembelajaran yang demikian. Sekali lagi disinilah pentingnya motivasi di awal pelajaran. Bila akar motivasi tertanam kuat pada diri anak, maka pelajaran 2 jam terasa 2 menit, terlontarlah kata-kata ”Lho kok sudah selesai, Bu”.
Motivasi membuat siswa enjoy, dan enjoy membuat siswa siap belajar dengan lebih mudah, dan bahkan dapat mengubah sikap negatif, seperti malas, jenuh, cepat lelah dan sebagainya. Dengan motivasi yang kuat, seorang guru berhasil mengantarkan muridnya 20 kali lebih cepat dari sang guru. Dengan kekuatan motivasi, seorang murid mampu, betah belajar di bawah atap yang bocor (laskar pelangi).
Bisakah kita sebagai guru meracik kata demi kata untuk memotivasi siswa, sehingga menjadi obat kuat yang mujarab menghilangkan rasa malas, jenuh dan rasa kantuk di saat belajar dalam kelas?. Bisakah kita sebagai guru mampu mengubah pandangan mereka, dengan terlebih dahulu memulai dari kita dengan pandangan yang positif, sehinga mereka benar-benar menjadi murid yang istimewa baik akademik maupun non akademik?
Bisakah kita sebagai guru, mampu menjadi teladan sehingga mereka tidak hampa dalam mencari jati diri mereka secara nyata? Maka saatnyalah mulai dari sekarang, kita harus berupaya untuk melakukan seoptimal dan semaksimal mungkin. Semoga!

Mengukur Model Lesson Study Mahasiswa PPL

Pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan ilmu kependidikan –dahulu lebih dikenal sebagai IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan)- kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan mata kuliah wajib. Kegiatan ini sebagai upaya meningkatkan kemampuan mahasiswa program studi pendidikan yang notabene calon-calon guru. Tentu saja metode pembelajaran dalam kegiatan PPL ini amat beragam.
Seperti yang dilakukan oleh FPMIPA Universitas Negeri Malang, mereka menggagas suatu bentuk pelaksanaan PPL yang berbasis lesson study. Model ini diperuntukan bagi Dosen Pembimbing PPL (DPL), Guru Pamong (GP), dan mahasiswa peserta PPL. Hanya saja pelaksanaan dari model ini masih perlu diukur efektivitasnya, mengingat dengan bekal pengetahuan yang minim tentang lesson study, guru pamong dan mahasiswa PPL tidak cukup mampu melaksanakan prosedur standar lesson study.
Lesson study (jugyokenyu) adalah suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran. Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus.
Dalam tahap awal pengenalan lesson study ada tiga tahap utama, yakni: (1) Perencanaan (Plan), (2) Pelaksanaan (Do), dan Melihat/refleksi (See). Ketiga tahapan tersebut dilakukan secara berulang dan terus menerus (siklus).
Tahap perencanaan (Plan) bertujuan untuk menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan peserta didik secara efektif serta membangkitkan partisipasi aktif peserta didik dalam pembelajaran.
Tahap pelaksanaan (Do) dimaksudkan untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya. Salah satu anggota bertindak sebagai guru sedangkan yang lain bertindak sebagai pengamat (observer). Fokus pengamatan diarahkan pada aktivitas belajar peserta didik bukan untuk mengevaluasi penampilan guru yang sedang bertugas mengajar.
Tahap refleksi (See) dimaksudkan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pembelajaran, selanjutnya pengamat diminta menyampaikan komentar, kritik dan saran disampaikan secara bijak tanpa merendahkan atau menyakiti guru demi perbaikan.
Dalam praktiknya di sekolah, penulis (pertama kali menjadi guru pamong dengan lesson study ), terjadi miskonsepsi dan kerancuan antara lesson study dengan peer teaching, padahal yang pertama kali berperan sebagai guru model adalah guru pamong, maka fokus pengamatan mahasiswa PPL yang berperan sebagai observer bukan lagi pada proses belajar siswa tetapi pada aktivitas guru dalam mengajar.
Alhasil ketika diskusi refleksi mahasiswa PPL dengan semangat penuh idealisme menyampaikan komentar yang bersifat “menggurui” selama mengevaluasi penampilan guru pamong yang sedang bertugas mengajar mulai dari pengelolaan kelas, lama waktu memotivasi siswa, menyiapkan psikologis / mental dan fisik siswa , variasi metode dalam satu kali tatap muka, sampai pada penetapan prosentase kemampuan memori siswa tanpa mengadakan ulangan.
Di satu sisi betapa menakjubkan fenomena ini, lulusan calon guru yang akan datang mampu menerawang hasil pembelajaran tanpa melaksanakan ulangan, kemampuan ini tidak dimiliki penulis yang lulusan IKIP Negeri Malang seperempat abad tahun yang lalu (tahun 1984), di sisi lain apakah ini lesson learned bagi guru mahasiswa PPL dengan tanpa mengindahkan perasaan manusiawi guru pamong yang merasa “ digurui “ bahkan direndahkan karena disupervisi oleh mahasiswa PPL calon guru.
Sebagai guru pamong pemula di sekolah swasta yang mempunyai siswa dengan beragam latar belakang dan kemampuan akademik yang sedang, apakah harus dapat menerima masukan dari pengamat tanpa harus tersinggung ?
Semoga kejadian ini tidak terulang lagi, tidak menimpa guru pamong lainnya dan semoga di masa mendatang mahasiswa calon guru PPL dipersiapkan lebih matang untuk ber-lesson study di lapangan

Mewaspadai Pengaruh Narkoba pada Pelajar

Saat ini jumlah pengguna narkoba (narkotik dan obat psikotropika) di seluruh Indonesia sudah mencapai 3,2 juta orang. Angka ini sulit ditekan karena informasi akan efek pengguna narkoba itu tidak tersampaikan dengan baik, akibatnya masih banyak kalangan yang masih terjerat barang haram tersebut. Peredaran narkoba saat ini tidak hanya ditingkat orang dewasa namun juga beredar ditingkat remaja. Sekretaris Gerakan Anti Narkoba (Granat) Azrai MSp mengatakan hal itu terjadi akibat pesatnya informasi dan minimnya upaya pengawasan bahaya narkoba di sekolah.
Indonesia sudah pernah mengesekusi dua terpidana mati atas kasus narkoba, dua warga “ Asing “ tersebut telah terbukti menyelundupkan narkoba ke Indonesia. Eksekusi tersebut ternyata belum memberikan efek jera bagi warga Indonesia maupun asing. Hal itu terbukti dalam operasi yang dilakukan Kepolisian Daerah di bulan Februari tahun ini mampu membongkar jaringan narkoba sekaligus pabrik sabu yang sudah berskala besar di Perumahan Sawojajar II Kota Malang .
Tak tanggung-tanggung usaha barang haram tersebut sudah meraup omset miliaran rupiah selama tiap bulannya. Padahal pemerintah melalui UU No 22/1997 dan UU No 5/1997 menetapkan Narkoba sebagai salah satu bencana bangsa untuk terus diperangi, sebab akan merusak generasi penerus bangsa.
Orang tua dan guru merupakan komponen terpenting selain siswa itu sendiri yang mau membentengi dirinya . Selama ini tiga komponen tersebut belum mendapatkan pemahaman yang baik atas dampak dan pencegahan narkoba. Riset Universitas Indonesia menunjukan angka penyalagunaan narkoba pada pelajar dan mahasiswa sejak tahun 2003 sampai dengan 2006 meningkat dari 3,9% menjadi 5,3% atau jumlah totalnya 1.037.682 siswa.
Menanggapi permasalah tersebut Badan Narkotika Nasional (BNN) kini sudah mulai menggarap sekolah dan kampus untuk membangun benteng anti narkoba melalui “ Drugs-Campaigs Goes to School and Campus”. Demi lancar dan berhasilnya program tersebut BNN mengandeng Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) salah satu alasannya banyak pengguna narkoba di dunia pendidikan, termasuk pelajar dan mahasiswa.
Inti kampanye yang diberi tajuk Anti-Drugs Campaigs Goes to School and Campus ( Kampaye Anti Narkoba masuk sekolah dan Kampus) itu adalah memberikan peringatan sejak dini. Jangan sampai generasi narkoba tergiur narkoba. Karena selama ini sekolah juga tidak mampu memberikan pengawasan yang ketat dengan melakukan tes urine atau pemeriksaan atas sekolah secara intensif pada siswa.
Berdasar penelusuran yang dilakukan Gerakan Anti Narkoba (Granat) selama ini terungkap bahwa narkoba diperoleh dan dikonsumsi dari empat sumber yakni warung yang berada di sekitar sekolah, preman, siswa dan alumni. Konsumen yang dicarinya bukanlah orang yang kaya tetapi siswa miskin, siswa pintar dan berprestasi. Siswa miskin sangat mudah terpancing, yang pada awalnya diberikan secara gratis. Ketika sudah kecanduan siswa itu akan berusaha mencarinya, namun karena tak punya uang, si Bandar menyuruhnya menjual dengan imbalan beberapa paket.
Selain proses penegakan hokum, pemberantasan kejahatan narkoba harus benar-benar tegas dan tuntas, salah satu upaya pencegahan itu adalah melakukan kampanye anti narkoba yang bias di pahami oleh masyarakat.
Sebenarnya, BNN sudah membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan Forum Rektor Indonesia dan Majlis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia tentang masyarakat kampus yang bebas narkoba. Di sekolah-sekolah perlu memanfaatkan UKS untuk kampanye anti narkoba. Alasannya Unit tersebut memiliki paying hokum yang kuat yaitu: Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri yaitu: Mendiknas, Menkes, Menag dan Mendagri.
Selain itu kampanye anti narkoba disekolah juga didukung oleh mata pelajaran yang diajarkan. Berdasarkan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, terdapat lima kelompok mata pelajaran. Salah satunya mata pelajaran yang termasuk kelompok pendidikan kesehatan dan jasmani. Maka dari itu mari kita dukung Indonesia masuk Negara-negara anggota ASEAN yang mendeklarasikan ASEAN bebas narkoba pada tahun 2005.

Penerapan Multiple Intellegence pada PAI

Untuk dapat menerapkan model pembelajaran di sekolah sebaiknya menerapkannya pada diri kita sendiri sebagai pendidik agar memiliki pemahaman empiris tentang teori tersebut., baru kepada anak didik. Untuk menilai kecerdasan majemuk pada diri kita sendiri adalah melalui penilaian kinerja secara realistis pada berbagai macam tugas, kegiatan dan pengalaman yang berkaitan dengan setiap kecerdasan. Untuk dapat menghubungkan kita dengan pengalaman hidup yang memanfaatkan kedelapan kecerdasan, sehingga kenangan, perasaan dan gagasan apakah yang muncul dari proses ini bisa dibantu dengan lembar kuesioner KM.
Teori kecerdasan majemuk adalah model yang sangat tepat untuk melihat kekuatan mengajar maupun untuk mempelajari wilayah-wilayah yang perlu diperbaiki. Mungkin kita akan menghindar jika dalam mengajar harus menggambar di papan tulis atau enggan menggunakan bahan-bahan grafis saat presentasi karena kecerdasan spasial kita belum cukup dikembangkan dalam hidup. Atau mungkin kita cenderung pada strategi belajar kelompok atau kegiatan ekologis karena kita termasuk pendidik yang interpersonal atau naturalis.

Cara-cara penggunaan sumber-sumber kecerdasan antara lain :
1) Meminta bantuan teman yang ahli, maksudnya jika kita kehabisan akal untuk mengajar di kelas menggunakan alat musik, karena kecerdasan musikal kita rendah bisa minta bantuan pada guru musik atau kolega berbakat musik,
2) Meminta bantuan siswa, maksudnya siswa sering memberikan solusi dan menunjukkan kemahiran di wilayah tertentu yang kurang dikuasai pendidik, seperti mengakses data di internet,
3) Menggunakan teknologi yang ada maksudnya adalah gunakan daya teknis sekolah untuk menyediakan informasi yang tidak dapat kita kuasai, contohnya jika kita bukan pengajar yang berorientasi pada gambar bisa memutar video.

Sejumlah pengaruh lingkungan juga berpengaruh mendorong atau menghambat perkembangan kecerdasan antara lain :
1) Akses ke sumber daya : maksudnya apabila keluarga tidak mampu membelikan siswa piano, piano atau alat musik lain maka kecerdasan musik tidak akan berkembang,
2) Faktor historis kultural maksudnya apabila siswa memiliki kecenderungan pada matematika banyak mendapat subsidi maka kemungkinan kecerdasan matematika logis akan berkembang,
3) Faktor geografis maksudnya apabila siswa dibesarkan di lingkungan pertanian akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan naturalis atau kinestetis jasmani dibandingkan siswa yang tinggal di apartemen atau kota-kota besar,
4) Faktor keluarga maksudnya bila siswa kecenderungan ingin menjadi seniman, terus dipaksakan oleh orang tua menjadi ahli hukum maka akan mendorong perkembangan kecerdasan linguistik tetapi menghambat kemajuan kecerdasan spasia.

Kemudian bila kita coba tarik pada alam “kita” yaitu dunia pendidikan Islam bagaimana bentuk penerapan multiple intelligence dalam pendidikan agama Islam.
Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam menggunakan kata-kata dapat mempelajari PAI dengan pantun, puisi dan lain-lain. Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam bidang musik (Musical Intelligence) juga dapat mempelajari PAI dengan mengarang lagu-lagu untuk mengingat fakta-fakta dalam PAI. Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam menggunakan gambar (Visual-Spatial Intelligence) dapat mempelajari PAI dengan membuat komik/cerita bergambar, lukisan dan lain-lain. Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam memahami tubuh (Bodily-Kinesthetic Intelligence) dapat mempelajari PAI melalui drama dan tari-tarian.
Multiple Intelligence pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emotional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Celakanya, pola pemikiran tradisional dalam pendidikan acapkali lebih menekankan pada kemampuan logika-matematika dan bahasa. Padahal, setiap orang memiliki cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.

Pembelajaran Akhlak Untuk Pendidik dan Anak Didik

Seringkali kita memberi nasihat kepada anak didik atas kelakuan atau perilaku mereka yang melanggar norma. Kita juga sering menglaim mereka tidak berakhlak ketika mereka melakukan perbuatan tercela. Bahkan kita juga memarahi mereka atas perlakuan atau perilaku mereka yang tidak terpuji. Semua itu kita lakukan karena kita menginginkan mereka menjadi anak yang baik dan berbudi luhur.
Perihal akhlak seorang murid kepada guru pun telah menjadi bahasan tersendiri dalam sebuah kitab Ta’lim Muta’alim. Kitab ini biasanya dibahas oleh murid-murid yang belajar di pesantren. Bahkan pembahasannya sangat terperinci. Kitab itu pun ditulis karena sang Pengarang ingin memberikan pesan kepada pembaca betapa terpujinya jika seorang murid memiliki akhlak yang baik.
Tapi kita tidak boleh lupa, bahwa sebagai manusia kita juga seringkali melakukan kesalahan yang mungkin dinilai itu perbuatan kurang baik atau tercela. Itu pun kita tanpa kita sadari atau tidak, kita lakukan di hadapan murid-murid. Seringkali kita lupa itu dan jarang mau menyadari atau introspeksi diri. Kita selalu menuntut mereka berperilaku baik pada kita dan kita tuntut mereka menjadi orang baik, tapi kita tidak melihat diri kita, apakah kita sudah berperilaku baik apa belum dihadapan mereka.
Mungkin kita masih ingat dengan beberapa kasus pencabulan terhadap anak didik di beberapa daerah tanah air. Mereka melakukan perbuatan tercela di hadapan murid-murid. Bahkan itu perbuatan tidak senonoh yang mana melanggar norma agama, adat dan Undang-Undang Negara.
Ada juga kekerasan terhadap anak-anak didik yang dilakukan beberapa guru dengan mengatasnamakan pembelajaran kedisiplinan. Mungkin hal ini harus kita renungi bersama dan kaji ulang. Apakah itu memang benar-benar sebuah pembelajaran kedisiplinan atau itu sebuah kekerasan? Dan apakah kedisiplinan itu harus dengan kekerasan?
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan hukuman-ketertiban”’ itu dianggap memperkosa hidup kebatinan anak. Pendidikan seharusnya berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual.
Pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan. Pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan, pendidikan hendaknya harus memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri, setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Imam Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa sebagai seorang guru atau pengajar, haruslah, belas kasih kepada anak didik dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri. Ketika mengajarkan suatu pelajaran kepada mereka haruslah dengan kasih sayang, ketika mereka melakukan kesalahan harus diingatkan dengan halus. Karena ketika kita mengingatkan dengan sebuah kekerasan itu akan mengakibatkan sebuah pertentangan atau protes dari anak didik dan akan mengurangi kewibawaan seorang guru.
Melihat pemikiran diatas, pembelajaran akhlak sebenarnya bukan hanya untuk anak didik saja, tetapi pembelajaran akhlak juga berlaku untuk pendidik. Jika ada pelajaran akhlak murid kepada guru, sebaliknya ada akhlak guru kepada murid. Karena adanya sekolah atau lembaga pendidikan adalah untuk mendidik seorang anak didik menjadi manusia yang terdidik. Jadi pendidikannya pun haruslah orang yang terdidik dengan baik.
Sebagai seorang pendidik, marilah kita sama-sama saling memahami tugas satu sama lain dengan mempraktikannya, untuk menghasilkan anak didik yang terdidik dengan baik yang kelak menjadi harapan agama dan bangsa kita tercinta ini.

Pola Progresif dalam Belajar Mengajar

Secara umum, proses pendidikan menuju pada tiga hal pokok yang harus mampu dicapai peserta didik, yaitu Afektif, Kognitif dan Psikomotorik. Afektif berkaitan dengan sikap, moral, etika, akhlak, dan manajemen emosi. Kognitif berkaitan dengan aspek pemikiran, transfer ilmu, logika, dan analisis. Sedangkan Psikomotorik berkaitan dengan praktik atau aplikasi apa yang sudah diperolehnya melalui jalur kognitif.
Namun disadari atau tidak, proses pendidikan di sekolah sekarang porsinya lebih pada aspek kognitif atau transfer of knowledge saja. Salah satu hal yang kadang dihadapi guru dalam pembelajaran adalah kurangnya minat dan motivasi peserta didik untuk belajar di kelas. Kadangkala peserta didik mempraktikkan “ 5 D “ yaitu Datang, Duduk, Dengar, Diam, dan bahkan mungkin Dengkur.
Peserta didik kadangkala merasa “terpaksa” datang dan menghabiskan waktunya di kelas. Apalagi apabila guru masih terbiasa untuk menjadikan peserta didiknya pendengar yang baik karena guru masih yakin bahwa satu-satunya cara untuk mengajar dengan cepat adalah dengan menggunakan metode ceramah. Pada kegiatan pembelajaran Biologi mencakup dimensi ganda, yaitu proses dan produk.
Dengan demikian, peserta didik dituntut untuk melakukan kegiatan dan melakukan intervensi logis sampai ditemukan konsep/aturan/prinsip IPA. Artinya, konsep IPA yang diketahui peserta didik tidak sekadar ingatan semata, akan tetapi konsepsi yang disertai alasan logis. Kesemua ini dilakukan dengan menggunakan perangkat yang lazim disekitar peserta didik, pengalaman dan alam sekitar melalui kegiatan/proses ilmiah.
Pada dasarnya hakikat belajar mengajar dengan pola yang lebih progresif berbeda dengan hakikat belajar-mengajar dengan pola tradisional. Pada pola tradisional kegiatan mengajar lebih sering diarahkan pada aliran informasi dari guru ke peserta didik. Pandangan ini mendorong guru untuk berperan sebagai tukang ajar, dimana diibaratkan guru sebagai orang yang mengisi air pada botol yang kosong.
Pada pola progresif makna belajar diartikan sebagai pembangunan gagasan/pengetahuan oleh peserta didik sendiri selain peningkatan keterampilan dan pengembangan sikap positif. Guru belum dikatakan mengajar kalau peserta didik belum belajar. Artinya, guru baru mengajar kalau konsep materi yang disajikan dapat menjadi bagian dari ‘struktur kognitif’ peserta didik.
Untuk mencapai tujuan ini, guru tidak cukup hanya berceramah dari menit pertama sampai menit terakhir kegiatan belajar mengajar. Akan tetapi peserta didik perlu dilibatkan secara aktif dalam kegiatan praktis dalam bentuk pengujian, percobaan atau penelitian sederhana.
Sikap mental atau reaksi peserta didik bila dilibatkan secara aktif dalam kegiatan praktis kadangkala tidak menyenangi model pembelajaran peserta didik yang aktif, kadang ada sikap seperti “menolak” yang diungkapkan lewat sikap acuh tak acuh bila diajak memecahkan masalah, peserta didik ingin agar diterangkan dengan runtut, kemudian peserta didik mencatat dan kadang peserta didik menganggap bahwa hanya dengan membaca saja mereka sudah dapat memahami pelajaran biologi semua berakibat guru mengalami kesulitan mengembangkan pengelolan kelas.
Di dalam kelas, guru semakin dituntut untuk mampu menciptakan suasana kelas yang kondusif sesuai semangat KTSP. Suasana kelas harus demokratis, tidak tegang, tetapi harus tetap tertib agar semua siswa bisa optimal dalam menyimak, berbicara, dan mengekspresikan dirinya.
Untuk menciptakan kondisi kelas yang kondusif dalam pembelajaran (masalah kognitif) seorang guru mesti mengerahkan semua potensi dirinya, dari segi intelektualitas harus semakin mampu menguasai materi pembelajaran, seorang guru juga mesti diharuskan meningkatkan masalah afektif peserta didik yang kadang lebih banyak menghabiskan waktu dan energi bahkan memerlukan kesabaran yang ekstra menghadapi peserta didik dengan berbagai latar belakang problematika hidupnya.
Pendidikan menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif sedangkan kegiatan mengajar menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif.Maka pendidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Sehingga perilaku guru sebagai pendidik yang perlu dikembangkan adalah sebagai mitra peserta didik, disiplin permisif, berdialog dengan pikiran kritis,melakukan dialektika budaya lama dengan nilai-nilai budaya modern, memberikan kesempatan kreatif, berproduksi, dan berperilaku sehari-hari yang positif terhadap peserta didik.
Setiap pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional intelektual juga terjalin alasan yang bersifat moral.

Guru Perhatian Siswa Semangat Bersekolah

“Pak suaranya kok gremeng…”, “Pak kok ngerjakan LKS terus…”, “Bu pelajarannya kok cuma mencatat saja…”, “kok gurunya sering marah sihh…”, “haduh ibu ini lagi sekarang, malas aku nanti kalau ga bisa dicemooh…”,apabila guru mendengar kritikan seperti ini maka guru akan merasa tersingung dan guru akan berusaha mencari jawaban yang tepat untuk menjawab keluhan siswa tersebut. Bahkan tindakan yang mungkin dilakukan adalah menjadi kurang respon dengan siswa yang berkomentar itu.Ternyata bila dicermati ada dampak positif yang terkandung dalam keluhan siswa tersebut. Siswa sebenarnya menginginkan guru agar lebih care. Memahami keinginan siswa tetapi juga sebagai guru tidak terlalu memanjakan siswa. Karena dengan ketegasan dan rasa kasih sayang maka guru akan dapat tampil sebagai guru yang disayang murid sekaligus berwibawa.
Dunia pendidikan memang penuh dengan warna. Kadangkala sebagai guru sudah merasa memberikan yang terbaik baik siswa. Ternyata dunia pendidikan terus berkembang tidak stagnan. Sebagai guru harus bisa menerima segala bentuk perubahan. Di Indonesia sudah mulai dihilangkan bentuk pendidikan tradisional kalau dulu dunia pendidikan di Indonesia masih diwaranai dengan “kekerasan” tapi sekarang sudah ada bentuk pendidikan “ramah anak”. Saat ini di Indonesia telah berusaha mengembangkan program SRA.
Mengutip dari Angela Kicrney, Perwakilan UNICEF Indonesia mengatakan, tujuan dari program SRA ini yaitu, bagaimana menciptakan lingkungan sekolah dan luar sekolah tanpa kekerasan, pemberlakuan disiplin jam belajar, serta penyediaan fasilitas yang memadai di sekolah. "SRA adalah bagaimana pihak sekolah harus mampu memberi perlakuan sama terhadap setiap anak, dan memantau perkembangan kepribadian anak didik, serta memberikan ruang partisipasi yang luas baik kepada siswa itu sendiri maupun masyarakat secara transparan dan akuntabel," ujarnya.
Bahkan terkadang, lanjutnya, ada siswa atau murid yang merasa dirinya terkucilkan oleh pihak sekolah, sehingga siswa atau murid tersebut malas-malasan dan tidak berminat lagi menginjakkan kaki di sekolah, dan ujung-ujungnya putus sekolah.
Jadi melalui program SRA UNICEF ini, semua perasaan semacam itu bisa diminimalisir bahkan dihilangkan, untuk menciptakan SDM yang berkualitas dan berkepribadian manusiawi.

Kekerasan di Sekolah; Sebuah Anti Tesis Sistem Pendidikan

Kekerasan ternyata hadir juga pada bidang pendidikan. Sudah banyak rentetan kasus yang terungkap, baik yang dilakukan senior pada yunior, maupun oleh guru pada anak didik. Fenomena ini menunjukkan bila tri pusat pendidikan –keluarga, sekolah, dan masyarakat- turut berkontribusi memunculkan perilaku ini. Namun yang lebih bertanggung jawab sebenarnya kebijakan pendidikan yang dirumuskan pemerintah.
Pasalnya ada kaitan dengan tuntutan hidup yang makin berat dimana keluarga lebih fokus mencukupi kebutuhan ekonomi. Sementara pengawasan pada anak menjadi terabaikan. Peran orang tua tergantikan oleh teman sebaya. Harga yang mesti dibayar adalah anak lebih mencari penghargaan pada rekan sebaya. Akibatnya pun sosialisasi anak tidak sempurna dengan membentuk genk-genkngan.
Dengan kondisi di keluarga yang tidak cukup perhatian dan penghargaan, anak mengaktualisasi diri melalui penyaluran lewat kekuatan fisik kepada yang lemah dalam wujud kelompok sosial remaja. Kekuasaan yang didapat dalam kelompok sosial membuat mereka lebih merasa teratualisasi dan diharga oleh teman meskipun dengan cara kekerasan fisik.
Sekolah selain sebagai wadah menempuh dan menggali ilmu namun terjadi pergeseran makna sosial adalah menaklukkan yunior. Karena dalam sekolah terjadi stratifikasi yang jelas dalam bentuk tingkatan kelas, yaitu kelas X, XI dan XII. Ini pula yang disalahgunakan dengan cara membangun jarian strata sosial dikalangan kelompok sosial remaja.
Wadah yang ada dalam sekolah tampaknya belum mampu secara maksimal menampung dan menyalurkan energi pelajar. Sehingga energi yang melimpah diwujudkan dalam tindakan penyimpang. Bentuk-bentuk penyimpangan dalam diri pelajar lebih banyak disebabkan sistem dalam sekolah tidak dapat mengakomodir potensi, energi pelajar.
Akibatnya penyaluran yang dipakai pun lebih banyak menyimpang dengan genk-genk dalam pelajar itu sendiri. Yang senior merasa lebih dihormati, diharga oleh yang yunior. Alasan lain potensi mereka tidak tertampung dalam sistem di sekolah. Penyaluran rasa diharga oleh sekolah yang minim terhadap pelajar memicu pelajar mencari penghargaan di luar sistem.
Meskipun secara yuridis tidak dinyatakan bahwa masyarakat Indonesia makin kapitalis. Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin tidak mendapat ruang yang layak. Budaya masyarakat yang kaya “merasa” berkuasa. Yang kuat merasa lebih dihargai merembes dalam sekolah. Dalam diri pelajar (siswi). Individualisme punmakin kuat.
Kalau toh koletif, maupun kelompok sosial lebih banyak disalah gunakan dengan menggalam kekuasaan, dan kekuatan untuk mengalahkan yang lemah, tak berdaya. Pergesera nilai dalam masyarakat secara lambat namun pasti meninternalisasi pelajar banyak bukti yang terjadi.
Pemerintah bertanggungjawab dalam kebijakan sistem yang makin tidak membebaskan. Makin tingginya tuntutan yangdiemban pelajar membuat pelajar makin sulit membangun aktualisasi diri. Sempitnya ruang yangtersedia bagi pelajar dalam berekspresi. Kalau toh ada masih jauh dari kebutuhan pelajar. Pemerintah sebagai pihak eksekutif sah-sah saja membuat kebijakan yang beraneka ragam tetapi tidak pernah secara terbuka memahami hati dan jiwa pelajar yang merasa tertekan. Jiwa, dan hati yang terabaikan demi pencapaian mutu yang ditentukan sendiri oleh pemerintah.
Akibanya, afeksi, jiwa dan hati pelajar mengering, maka pelampiasannya adalah perilaku menyimpang terhadap sesama pelajar yang lemah. Jika sistem pendidikan yang makin tidak memebaskan dipertahankan terus maka makin banyak pula perilaku penyimpang akibat mengeringnya jiwa, afeksi dan emosi pelajar.
Pemerintah sudah waktunya memperbaiki sistem pendidikan setelah melihat hasil sistem pendidikan yang makin jauh dari tujuan semula. Pemerintah mulailah membuka diri terhadap kenyataan bahwa sistem pendidikan Indonesia ada yang tidak pas. Sudah saatnya pemerintah berkaca diri bahwa banyak akibat negatif dari sistem pendidikan yang tidak membebaskan. Pemerintah berharap karakter seperti apa dengan sistem pendidikan yang tidak membebaskan ? Selagi masih ada waktu mari duduk bersama, wakil keluarga, masyarakat dan sekolah untuk menyamakan misi demi pencerdasan bangsa.

Mengatasi anak usia dini malas sekolah

Anak usia dini biasanya pada awal masuk sekolah akan merasa jenuh, takut, atau bahkan malas hal ini sudah menjadi salah satu keluhan umum para orang tua. Kasus yang biasa terjadi adalah anak lebih suka bermain dari pada belajar.
Kata malas kalau dijabarkan sebagai tidak mau berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas sekolah berarti tidak mau, enggan, tak suka, tak bernafsu untuk sekolah (Muhammad Ali, Kamus Bahasa Indonesia)
Jika anak-anak tidak suka sekolah dan lebih suka bermain, itu berarti sekolah dianggap sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya/untungnya karena bagi ana-anak tidak secara langsung dapat menikmati hasil belajar atau sekolah. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelas-jelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan).
Penyebab Anak Malas Sekolah
1. Faktor intinsik (dalam diri anak sendiri)
a. Takut
b. Sedang sakit
c. Sedang sedih (bertengkar dengan teman sekolah, kehilangan barang kesayangan dll)
d. IQ/EQ anak
2. Faktor ekstrinsik
a. Suasana sekolah yang tidak nyaman
b. Letak sekolah yang terlalu jauh
c. Bermasalah di sekolah (tidak suka/phobia sekolah, sehingga apapun yang berhubungan dengan sekolah jadi enggan untuk dikerjakan).
Termasuk dalam hal ini adalah guru dan teman sekolah.
Mengatasi Malas Sekolah Anak
Mencari penyebab anak menjadi malas sekolah adalah langkah pertama. Saran berikutnya antara lain sbb:
1. Menanamkan pengertian yang benar tentang seluk beluk sekolah pada anak sejak dini.
Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak. menumbuhkan inisiatif sekolah pada anak, menanamkan kesadaran serta tanggung jawab untuk sekolah pada anak merupakan hal lain yang bermanfaat jangka panjang.
2. Mengantar anak sekolah, mendampingi pada awal masuk sekolah.
Mengantarkan anak pada hari pertama masuk sekolah sangatlah penting khususnya pada anak usia dini. Hal yang akan dihadapi biasanya pada anak yang penakut atau kurang percaya diri biasanya akan menangis atau mogok. Peran guru dan orang tua disini sangat besar perannya dalam meyakinkan anak untuk berani dan mandiri. Orang tua harus percaya kepada guru untuk mendidik dan memberi motivasi untuk mandiri.
2. Berikan insentif jika anak ingin sekolah.
Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak saat ia mau sekolah tanpa mesti disuruh
3. Komunikasi
Hendaklah ortu membuka diri , berkomunikasi dengan anaknya guna memperoleh secara langsung informasi yang tepat mengenai dirinya.
Carilah situasi dan kondisi yang tepat untuk dapat berkomunikasi secara terbuka dengannya. Setelah itu ajaklah anak untuk mengungkapkan penyebab ia malas sekolah. Pergunakan setiap suasana yang santai seperti saat membantu ibu di dapur, berjalan-jalan atau sambil bermain, tidak harus formal yang membuat anak tidak bisa membuka permasalahan dirinya.
4. Menciptakan disiplin.
Jadikan sekolah sebagai rutinitas yang pasti.
5. Menegakkan kedisiplinan.
Menegakkan kedisiplinan harus dilakukan bilamana anak mulai meninggalkan rutinitas yang telah disepakati. Bilamana anak melakukan pelanggaran sedapat mungkin hindari sanksi yang bersifat fisik (menjewer, menyentil, mencubit, atau memukul). gunakanlah konsekuensi-konsekuensi logis yang dapat diterima oleh akal pikiran anak.
6. Menghibur dan memberikan solusi yang baik dan bijaksana pada anak dalam hal ini jika anak sakit/sedih.
Beberapa hal yang tidak kalah pentingnya dalam menyikapi anak yang sedang dilanda malas sekolah adalah
1. Memilihkan sekolah yang berkualitas dan religi serta dapat dipercaya untuk mendidik dan membimbing putra putri kita.
2.Memantu perkembangan anak di sekolah artinya tidak 100% tugas itu diserahkan kepada guru.

PENTINGNYA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemberian layanan pendidikan bagi anak sejak usia dini (0-6 tahun) masih sangat rendah. Hal itu disebabkan antara lain karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan anak usia dini itu sendiri.
"Meskipun selama ini pemerintah dan masyarakat telah menyelenggarakan berbagai program layanan pendidikan bagi anak usia dini. Namun, kenyataannya hingga saat ini masih banyak anak usia dini yang belum memperoleh layanan pendidikan. Banyak anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa pendidikan yang tepat diberikan kepada anak asalah pada saat anak mulai masuk usia kematangan yang siap untuk bersekolah yaitu antara 5 - 7 tahun. Sedangkan yang sebenarnya adalah bahwa pendidikan bisa dimulai dari usia 0 - 6 tahun.
Disamping saat ini belum ada sistem yang bersifat holistik untuk menjamin keterpaduan dalam penanganan anak usia dini.
Masih banyaknya anak usia dini yang tidak tersentuh pendidikan apa pun juga disebabkan masih sangat terbatasnya jumlah tenaga pendidik dan kependidikan untuk mereka. Hal itu diperburuk oleh relatif rendahnya kualitas tenaga yang sudah ada.
Faktor lain adalah letak geografis yang membuat mereka sulit untuk menjangkau lokasi belajar dan yang lebih parah lagi adalah tingkat ekonomi yang menjadi penyebab utama mengapa orang tua tidak sesegera mungkin mempersiapkan anaknya untuk belajar sejak dini.

Terapi Anak Didik dengan Metode Ketenangan Hati

Profesi sebagai guru mengandung amanah untuk mengantarkan anak didik menjadi manusia yang dewasa, matang, dan mandiri. Dalam prosesnya, guru harus dapat memberikan pelayanan yang proporsional pada setiap anak didik dengan karakteristik pembelajaran yang tidak sama. Dalam kondisi nyata, guru memang menghadapi permasalahan perilaku anak didik yang tidak sesuai harapan.
Salah satu solusi pembelajaran yang bisa dilakukan guru untuk mengatasi karakteristik anak didik yang berbeda ini bisa dengan menggunakan pendekatan hati yang tenang. Karena dengan hati yang tenang bisa membuka hati pada jiwa-jiwa anak didik agar pada akhirnya dapat memberikan pencerahan. Anak pada masa perkembangannya menuju pada masa menjadi manusia dewasa memerlukan perhatian yang cukup signifikan dan berkelanjutan dari manusia dewasa dalam hal ini guru.
Karena guru adalah manusia pilihan yang telah ditunjuk Tuhan sebagai manusia yang mempunyai amanah mulia mencerdaskan anak sesuai dengan bakat atau talenta yang dibawanya sejak lahir sehingga mereka dapat tumbuh subur. Seperti petikan mantra dari sang Guru Ki Hajar Dewantara” Anak dilahirkan ibarat sebuah benih, dia akan tumbuh subur menjadi sebuh pohon yang mempunyai akar kokoh jika lingkungan di sekitarnya juga mendukung perkembangan benih itu”.
Pada saat anak belajar di sekolah, guru adalah orang tua kedua bagi mereka. Bahkan dalam hal ini guru memegang amanah sebagai pengajar, fasilitataor kebutuhan anak dan pendidik sehingga anak didik dapat menjadi manusia-manusia dewasa yang pembelajar secara aktif dan kreatif. Dalam hal ini mereka akan senantiasa mengolah, mengkostruksi pemikiran yang telah dimiliki dengan pembelajaran yang berlangsung sehingga berguna dalam mengantarkan anak menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas.
Amanah tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi guru. Karena pada saat kegiatan di sekolah, guru dihadapkan dengan setiap anak didik yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Dan mereka membutuhkan pelayanan yang proporsional dari guru. Amanah guru menjadi lebih ekstra ketika guru dihadapkan dengan permasalahan anak didik yang memiliki perilaku menyimpang.
Perilaku menyimpang dalam hal ini dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak sesuai atau kurang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam melakukan hal tersebut, anak didik tidak menyadari bahwa dirinya telah menyimpang. Sebagai tindak lanjut guru dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan terapi. Terapi mujarab yang dapat dilakukan guru adalah terapi melalui berbicara dengan hati yang tenang yang tenang.
Hati yang tenang sebagai kunci sukses guru dalam berkomunikasi dengan anak didik yang memiliki perilaku menyimpang. Berbicara dengan hati yang tenang mampu menyentuh hati terdalam dari jiwa-jiwa anak didik, agar mereka merasa damai dan nyaman dengan komunikasi guru yang pada akhirnya dapat memberikan pencerahan pada anak didik. Karena kadang kalanya guru merasa sudah sering melakukan berbagai terapi, tetapi mengapa kadangkalanya hasil tidak sesuai dengan harapan.
Hal tersebut karena guru tidak menggunakan hati dalam berbicara dengan anak didik.
Dan hal penting yang perlu diperhatikan guru dalam berbicara dengan anak didik adalah guru menghindari pembicaraan yang bersifat memojokkan dan menjatuhkan mereka. Tindakan memojokkan dan menjatuhkan yang dilakukan guru dalam mengatasi anak yang bermasalah akan semakin memperburuk situasi dan tidak jarang anak akan melakukan tindakan menyimpang yang lebih parah lagi.
Karena ketika guru melakukan terapi dengan emosi yang tidak stabil, padahal saat itu anak tidak membutuhkan pemvonisan kesalahan yang dilakukannya. Tetapi yang dibutuhkannya adalah pencerahan yang dapat membuka mata hati anak didik yang pada saat itu gelap. Sebaliknya, guru berbicara sebagai teman yang dapat diajak anak didik untuk sharing tentang permasalahan mereka.
Misalnya, ketika anak melakukan pencurian barang milik temannya. Ketika guru mengetahui hal tersebut, guru memanggil anak tersebut secara empat mata, kemudian guru jangan langsung memvonis anak didik salah karena telah melakukan perbuatan menyimpang. Tetapi yang perlu dilakukan guru adalah bersikap tenang dan bertanya alasan yang melatarbelakangi anak didik melakukan hal tersebut.
Jika alasan anak didik mencuri karena faktor ekonomi, guru memberikan penjelasan bahwa perbuatan yang dilakukannya dalam mencukupi kebutuhan ekonominya kurang benar. Guru dapat memberikan masukan kepada anak didik melalui kisah-kisah nyata yang berhubungan dengan hal tersebut. Guru tidak banyak berbicara tetapi apa yang dikatakannya berasal dari hati sehingga menyentuh hati. Jika hal tersebut dapat dilakukan guru, amanah yang berada di pundak guru akan mudah dijalani seperti air yang mengalir.
Usaha yang dapat dilakukan guru untuk dapat mengolah dan mempertajam berbicara dengan hati yang tenang adalah senantiasa mencari dan mencari ilmu pada siapapun, dimanapun dan kapanpun. Karena setiap manusia yang ditemui adalah guru kehidupan yang dapat memberikan ilmunya pada guru. Sehingga dari ilmu yang diperolehnya tersebut pada awalnya akan dapat memberikan pencerahan pada guru, yang pada akhirnya cahaya tersebut dapat bersinar menerangi alam kehidupan sekitarnya.

Banyak Pendidik Belum Pahami Pentingnya EQ

Selama bertahun-tahun, IQ (Intellegencia Qoutient) telah diyakini sebagai standar kecerdasan. Namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Daniel Goleman (2003), salah seorang yang memopulerkan jenis kecerdasan manusia, menganggap adanya sebagai faktor lain yang penting dan memeengaruhi prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligen, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan social.
Siswa yang mengikuti program “emotional literacy” (untuk meningkatkan kecerdasan emosional) mengalami kemajuan/peningkatan dalam keberdayaan emosional (Goleman, 2003). Penelitian tentang hubungan EQ dengan prestasi belajar ini dilaksanakan di Amerika dan hasilnya cukup bermakna.
Di Indonesia, penelitian untuk melihat hubungan antara EQ dan IQ dengan prestasi belajar dilakukan oleh Sri Lanawati (1999) pada siswa SMA di Jakarta. Ia menggunakan tes intelegensi Culture Fair Intelligence Test (CFIT) dan untuk prestasi belajar yang tercermin pada nilai rata-rata rapor dari hasil ujian caturwulan III tahun ajaran 1997-1998. Sedangkan EQ adalah skor yang diperoleh siswa pada alat Emotional Intelligence Inventory (EII) yang telah diadaptasi oleh peneliti, meliputi lima dimensi EI, yaitu kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.
Hasil yang diperoleh adalah 1). Ada hubungan bermakna antara IQ dan prestasi belajar siswa, 2). Tidak ada hubungan bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan inteligensi (IQ), dan 3). Tidak ada hubungan yang bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan prestasi belajar.
Hasil penelitian di Indonesia ini ternyata berbeda dengan hasil penelitian Goleman di sekolah di Amerika, yang menyatakan bahwa pengaruh program EQ dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Mungkin perbedaan ini disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan rasional, kurang berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional dalam proses belajar mengajar. Penilaian yang dilakukan di sekolah untuk menentukan prestasi belajar adalah kemampuan rasional, seperti kemampuan berbahasa dan berhitung.
Pendidik ternyata juga salah satu penyebab perbedaan ini. Banyak tenaga pendidik yang belum mengenal atau sadar akan perlunya menanggapi emosi yang dialami siswa.
Selain itu, siswa belum pernah memeroleh pendidikan pengenalan emosi sendiri, baik di sekolah maupun dalam keluarga, sehingga mereka cenderung buta emosi (emotional illiteracy), atau tidak sadar akan emosi yang muncul dan tidak tahu bagaimana mengendalikan emosi serta bagaimana mengungkapkan emosi secara benar.
Dari pengalaman dari luar maupun dalam negeri, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional memang diperlukan di samping kecerdasan rasional dan bahwa pendidik serta orangtua secepatnya diberi kesempatan untuk mengikuti program yang dapat membantu mereka bagaimana memahami emosi diri dan emosi orang lain, terutama generasi muda yang menentukan masa depan bangsa dan negara. (*)

Tiga Sentuhan Belajar Bahasa Inggris Jadi Menyenangkan

Banyak cara untuk mengajarkan Bahasa Inggris yang menyenangkan. Namun kenyataan, guru masih kesulitan mengantarkan siswanya mencapai nilai yang diharapkan. Setidaknya ada tiga hal yang perlu disentuh dalam proses belajar mengajar. Pertama, siswa harus merasa nyaman dalam pembelajaran. Kedua, siswa dan harus memiliki bahan ajar. Ketiga, adanya kesadaran bila belajar Bahasa Inggris itu sudah menjadi kebutuhan.
Penulis mencoba membagi pengalaman terkait praktik tiga sentuhan ini. Untuk sentuhan pertama, sebelum memulai pelajaran, penting kiranya guru menyapa dua atau tiga anak. Sedikit bualan atau lelucon juga bisa dipakai agar anak didik bisa tersenyum. Intinya mereka bisa unjuk gigi sebagai sinyal welcome atas kehadiran kita. Setidaknya guru tidak diangap sebagai monster tapi kawan untuk belajar.
Tidak bisa dipungkiri beberapa ada siswa yang berlebih dari yang kita harapkan. Mereka sebetulnya memang anak-anak yang haus perhatian. Karenannya perlu kita dekati, ajak bicara dengan sopan. Bila itu kita lakukan, berdasarkan pengalaman, mereka menjadi sungkan sendiri. Saya yakin sebagai seorang pengajar, kita bisa merasakan suasana kelas yang nyaman, kaku atau bertepuk sebelah tangan.
Untuk memraktikkan sentuhan kedua, kita harus benar-benar menyiapkan materi atau bahan ajar yang hendak diberikan. Sebab anak didik kita itu sekarang pandai dan bisa menilai sekaligus menyikapi persiapan bahan ajar dari guru. Mereka bisa bereaksi menentang kalau melihat guru tidak siap mengajar. Selain itu, bahan ajar juga penting untuk memandu kita untuk menerapkan metode tertentu ahar anak bisa belajar.
Kebetulan dua anak kandung saya sedang duduk di SMP dan SMA. Mereka berdualah inspirasi saya untuk mengembangkan metode mengajar di sekolah di mana saya mengajar. Saya yakin dunia anak saya tidak jauh beda dengan kondisi siswa/murid saya, maka saya pelajari karakter anak-anak saya, mulai dari cara bicara, menyebutkan istilah-istilah buat temannya sampai kegemaran mereka apa.
Terinspirasi dari kegemaran anak perempuan saya, yaitu mendownload film-film Korea, Jepang, dan Cina, saya coba mengikutinya. Awalnya sulit dan jadi bahan ketawaan anak saya; seperti ABG saja. Ternyata, film Korea tersebut menggunakan bahasa Korea tetapi subtitle-nya menggunakan bahasa Inggris sederhana, beberapa muncul kata-kata sulit yang memaksa anak saya membuka kamus.
Kompetensi yang didapat adalah anak mau membaca, mencoba memahami, mencoba menganalisa dan berani menulis kesimpulan. Sebagai pendidik, jelas kita harus selektif dalam memilih isi cerita film-film Korea tersebut. Ada beberapa film yang tanpa disadari merupakan petuah, ada yang tidak layak ditonton dan ada yang murni humor.
Sedangkan anak laki-laki saya gemar sekali membaca Koran Bola. Di kelas, saya membagikan beberapa Koran Bola bekas, saya biarkan mereka menikmati bacaan tersebut kurang lebih sepuluh menit. Sesaat kemudian mereka asyik dengan artikel yang mereka sukai. Disaat seperti inilah saya meminta mereka untuk mencari judul sederhana dan menuliskan 10 judul untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Awalnya memang sulit, tapi mereka berusaha keras untuk mendapatkan tandatangan saya sebagai gurunya jika bisa menyelesaikan 10 judul bacaan. Kompetensi yang diharapkan adalah, siswa mampu menterjemahkan dalam bahasa Inggris, memperbanyak kosa kata, penerapan structure dengan tepat.
Sentuhan yang ketigabagaimana pendidik mengarahkan siswanya untuk menyadari bahwa belajar bahasa Inggris itu sebuah kebutuhan bukan keterpaksaan. Ini adalah tuntutan globalisasi dunia. Pengajar dituntut untuk kreatif dan inovatif, untuk membuat anak didik ketagihan belajar. Biasanya saya menerapkan sentuhan ini di luar jam pelajaran, misalnya ketika ada anak makan permen.
Saya dekati dia dan saya ajak dia untuk membahas tulisan yang tertera di bungkus permen tersebut dengan rilek, ketika ada murid dengan tas bertuliskan bahasa Inggris, saya ajak dia untuk menterjemahkan, dll. Ternyata, beberapa anak mulai berani menanyakan terjemahan sampul bukunya, judul nyanyian bahkan ada anak yang minta diajarkan marah menggunakan bahasa Inggris melalui SMS. (*)