Ada orang pernah cerita, dulu jarang orang yang mau jadi pegawai negeri sipil (PNS) sebab gajinya memang kecil. Setiap bulan dapat beras jatah yang kalau dimasak nasinya mekar dan kalau sudah dingin rasanya keras untuk dimakan. Hingga cukup banyak yang menyerah terutama kaum pria yang jadi tumpuan harapan keluarga terpaksa meninggalkan tugas kepegawaian dan memilih bekerja di pabrik demi mencapai nominal penghasilan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sekarang bersyukurlah bagi mereka yang telah telaten dan penuh kesabaran dalam mengabdi mendapatkan kesejahterahan yang semakin baik dari pemerintah. Dari fasilitas kesehatan,kemudahan kredit di bank, beasiswa, dan jaminan hari tua. Belum lagi gengsi yang juga meningkat. Sehubungan kebijakan tersebut minat untuk menjadi pegawai negeri dari para tenaga kerja tampaknya semakin tak terbendung. Terbukti jumlah pelamar tes CPNS selalu membludak tiap tahunnya.
Sayangnya kesejahteraan yang semakin meningkat tidak serta merta diikuti kesadaran untuk meningkatkan kinerja.Tidak jarang ditemui oknum pegawai pada instansi pemerintah pada jam kerja bukannya konsentrasi di ruangan tapi cari sarapan plus ‘ngopi’. Atau kalaupun di meja kerja asyik main game dan customer yang butuh layanan harus rela nunggu “game over”. Kalau di lembaga pendidikan memang berbeda. Ada juga guru yang selalu alergi dengan metode pembelajaran terbaru padahal metode tersebut applicable untuk diuji cobakan. Memang kedengaran ironi guru yang selalu memotivasi murid untuk rajin belajar kok (ternyata) malas belajar.
Memang hak siapapun dan sah saja orang ingin jadi pegawai negeri selama memenuhi kriteria yang ditentukan. Dan bila akhirnya diangkat jadi pegawai memang kita berhak untuk mendapatkan kesejahterahan yang lebih baik. Tapi alangkah bangga dan rela bangsa ini jika memberi kehidupan yang lebih baik bagi orang yang melayani masyarakat melebihi dirinya dan orang mendapat lebih banyak materi untuk orang tidak kenal lelah belajar untuk memberi bimbingan yang terbaik.
Sudah saatnya kita meniru para pegawai negeri layaknya di negara-negara maju.
Setiap hari mereka datang “on time” dan ditengah kesibukan mereka mengolah data di komputer sambil menjawab telepon, mereka masih sempat tersenyum dan bertanya pada customer,”What can I do for you?”. Bagi guru sudah saatnya membuka diri untuk lebih pro-aktif dalam pendekatan terhadap siswa apalagi untuk siswa yang bermasalah.
Tidak asing guru-guru di negara maju menghubungi orang tua murid baik via telepon maupun visitasi jika memang dianggap perlu,tidak harus merasa lebih dibutuhkan. Di samping itu mereka meng up grade kompetensi dan kapabilitas mereka dengan mengambil kuliah / pendidikan lanjutan agar bisa memberi ilmu yang lebih up to date kepada anak didik dan bukan sekedar untuk memenuhi prasyarat kepangkatan.
Akhirnya,siapkah kita menjadi pegawai negeri yang mengabdi, melayani, mendidik bukan hanya mengajar, dan do the best for always. Sanggupkah kita memegang amanah itu berpuluh-puluh tahun kemudian. Akan sangat mulia jika kita mampu menjaga dedikasi sejak awal hingga purna tugas nanti.
Sekarang bersyukurlah bagi mereka yang telah telaten dan penuh kesabaran dalam mengabdi mendapatkan kesejahterahan yang semakin baik dari pemerintah. Dari fasilitas kesehatan,kemudahan kredit di bank, beasiswa, dan jaminan hari tua. Belum lagi gengsi yang juga meningkat. Sehubungan kebijakan tersebut minat untuk menjadi pegawai negeri dari para tenaga kerja tampaknya semakin tak terbendung. Terbukti jumlah pelamar tes CPNS selalu membludak tiap tahunnya.
Sayangnya kesejahteraan yang semakin meningkat tidak serta merta diikuti kesadaran untuk meningkatkan kinerja.Tidak jarang ditemui oknum pegawai pada instansi pemerintah pada jam kerja bukannya konsentrasi di ruangan tapi cari sarapan plus ‘ngopi’. Atau kalaupun di meja kerja asyik main game dan customer yang butuh layanan harus rela nunggu “game over”. Kalau di lembaga pendidikan memang berbeda. Ada juga guru yang selalu alergi dengan metode pembelajaran terbaru padahal metode tersebut applicable untuk diuji cobakan. Memang kedengaran ironi guru yang selalu memotivasi murid untuk rajin belajar kok (ternyata) malas belajar.
Memang hak siapapun dan sah saja orang ingin jadi pegawai negeri selama memenuhi kriteria yang ditentukan. Dan bila akhirnya diangkat jadi pegawai memang kita berhak untuk mendapatkan kesejahterahan yang lebih baik. Tapi alangkah bangga dan rela bangsa ini jika memberi kehidupan yang lebih baik bagi orang yang melayani masyarakat melebihi dirinya dan orang mendapat lebih banyak materi untuk orang tidak kenal lelah belajar untuk memberi bimbingan yang terbaik.
Sudah saatnya kita meniru para pegawai negeri layaknya di negara-negara maju.
Setiap hari mereka datang “on time” dan ditengah kesibukan mereka mengolah data di komputer sambil menjawab telepon, mereka masih sempat tersenyum dan bertanya pada customer,”What can I do for you?”. Bagi guru sudah saatnya membuka diri untuk lebih pro-aktif dalam pendekatan terhadap siswa apalagi untuk siswa yang bermasalah.
Tidak asing guru-guru di negara maju menghubungi orang tua murid baik via telepon maupun visitasi jika memang dianggap perlu,tidak harus merasa lebih dibutuhkan. Di samping itu mereka meng up grade kompetensi dan kapabilitas mereka dengan mengambil kuliah / pendidikan lanjutan agar bisa memberi ilmu yang lebih up to date kepada anak didik dan bukan sekedar untuk memenuhi prasyarat kepangkatan.
Akhirnya,siapkah kita menjadi pegawai negeri yang mengabdi, melayani, mendidik bukan hanya mengajar, dan do the best for always. Sanggupkah kita memegang amanah itu berpuluh-puluh tahun kemudian. Akan sangat mulia jika kita mampu menjaga dedikasi sejak awal hingga purna tugas nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar