Selama bertahun-tahun, IQ (Intellegencia Qoutient) telah diyakini sebagai standar kecerdasan. Namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Daniel Goleman (2003), salah seorang yang memopulerkan jenis kecerdasan manusia, menganggap adanya sebagai faktor lain yang penting dan memeengaruhi prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligen, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan social.
Siswa yang mengikuti program “emotional literacy” (untuk meningkatkan kecerdasan emosional) mengalami kemajuan/peningkatan dalam keberdayaan emosional (Goleman, 2003). Penelitian tentang hubungan EQ dengan prestasi belajar ini dilaksanakan di Amerika dan hasilnya cukup bermakna.
Di Indonesia, penelitian untuk melihat hubungan antara EQ dan IQ dengan prestasi belajar dilakukan oleh Sri Lanawati (1999) pada siswa SMA di Jakarta. Ia menggunakan tes intelegensi Culture Fair Intelligence Test (CFIT) dan untuk prestasi belajar yang tercermin pada nilai rata-rata rapor dari hasil ujian caturwulan III tahun ajaran 1997-1998. Sedangkan EQ adalah skor yang diperoleh siswa pada alat Emotional Intelligence Inventory (EII) yang telah diadaptasi oleh peneliti, meliputi lima dimensi EI, yaitu kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.
Hasil yang diperoleh adalah 1). Ada hubungan bermakna antara IQ dan prestasi belajar siswa, 2). Tidak ada hubungan bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan inteligensi (IQ), dan 3). Tidak ada hubungan yang bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan prestasi belajar.
Hasil penelitian di Indonesia ini ternyata berbeda dengan hasil penelitian Goleman di sekolah di Amerika, yang menyatakan bahwa pengaruh program EQ dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Mungkin perbedaan ini disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan rasional, kurang berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional dalam proses belajar mengajar. Penilaian yang dilakukan di sekolah untuk menentukan prestasi belajar adalah kemampuan rasional, seperti kemampuan berbahasa dan berhitung.
Pendidik ternyata juga salah satu penyebab perbedaan ini. Banyak tenaga pendidik yang belum mengenal atau sadar akan perlunya menanggapi emosi yang dialami siswa.
Selain itu, siswa belum pernah memeroleh pendidikan pengenalan emosi sendiri, baik di sekolah maupun dalam keluarga, sehingga mereka cenderung buta emosi (emotional illiteracy), atau tidak sadar akan emosi yang muncul dan tidak tahu bagaimana mengendalikan emosi serta bagaimana mengungkapkan emosi secara benar.
Dari pengalaman dari luar maupun dalam negeri, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional memang diperlukan di samping kecerdasan rasional dan bahwa pendidik serta orangtua secepatnya diberi kesempatan untuk mengikuti program yang dapat membantu mereka bagaimana memahami emosi diri dan emosi orang lain, terutama generasi muda yang menentukan masa depan bangsa dan negara. (*)
Daniel Goleman (2003), salah seorang yang memopulerkan jenis kecerdasan manusia, menganggap adanya sebagai faktor lain yang penting dan memeengaruhi prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligen, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan social.
Siswa yang mengikuti program “emotional literacy” (untuk meningkatkan kecerdasan emosional) mengalami kemajuan/peningkatan dalam keberdayaan emosional (Goleman, 2003). Penelitian tentang hubungan EQ dengan prestasi belajar ini dilaksanakan di Amerika dan hasilnya cukup bermakna.
Di Indonesia, penelitian untuk melihat hubungan antara EQ dan IQ dengan prestasi belajar dilakukan oleh Sri Lanawati (1999) pada siswa SMA di Jakarta. Ia menggunakan tes intelegensi Culture Fair Intelligence Test (CFIT) dan untuk prestasi belajar yang tercermin pada nilai rata-rata rapor dari hasil ujian caturwulan III tahun ajaran 1997-1998. Sedangkan EQ adalah skor yang diperoleh siswa pada alat Emotional Intelligence Inventory (EII) yang telah diadaptasi oleh peneliti, meliputi lima dimensi EI, yaitu kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.
Hasil yang diperoleh adalah 1). Ada hubungan bermakna antara IQ dan prestasi belajar siswa, 2). Tidak ada hubungan bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan inteligensi (IQ), dan 3). Tidak ada hubungan yang bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan prestasi belajar.
Hasil penelitian di Indonesia ini ternyata berbeda dengan hasil penelitian Goleman di sekolah di Amerika, yang menyatakan bahwa pengaruh program EQ dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Mungkin perbedaan ini disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan rasional, kurang berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional dalam proses belajar mengajar. Penilaian yang dilakukan di sekolah untuk menentukan prestasi belajar adalah kemampuan rasional, seperti kemampuan berbahasa dan berhitung.
Pendidik ternyata juga salah satu penyebab perbedaan ini. Banyak tenaga pendidik yang belum mengenal atau sadar akan perlunya menanggapi emosi yang dialami siswa.
Selain itu, siswa belum pernah memeroleh pendidikan pengenalan emosi sendiri, baik di sekolah maupun dalam keluarga, sehingga mereka cenderung buta emosi (emotional illiteracy), atau tidak sadar akan emosi yang muncul dan tidak tahu bagaimana mengendalikan emosi serta bagaimana mengungkapkan emosi secara benar.
Dari pengalaman dari luar maupun dalam negeri, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional memang diperlukan di samping kecerdasan rasional dan bahwa pendidik serta orangtua secepatnya diberi kesempatan untuk mengikuti program yang dapat membantu mereka bagaimana memahami emosi diri dan emosi orang lain, terutama generasi muda yang menentukan masa depan bangsa dan negara. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar