Pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan ilmu kependidikan –dahulu lebih dikenal sebagai IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan)- kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan mata kuliah wajib. Kegiatan ini sebagai upaya meningkatkan kemampuan mahasiswa program studi pendidikan yang notabene calon-calon guru. Tentu saja metode pembelajaran dalam kegiatan PPL ini amat beragam.
Seperti yang dilakukan oleh FPMIPA Universitas Negeri Malang, mereka menggagas suatu bentuk pelaksanaan PPL yang berbasis lesson study. Model ini diperuntukan bagi Dosen Pembimbing PPL (DPL), Guru Pamong (GP), dan mahasiswa peserta PPL. Hanya saja pelaksanaan dari model ini masih perlu diukur efektivitasnya, mengingat dengan bekal pengetahuan yang minim tentang lesson study, guru pamong dan mahasiswa PPL tidak cukup mampu melaksanakan prosedur standar lesson study.
Lesson study (jugyokenyu) adalah suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran. Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus.
Dalam tahap awal pengenalan lesson study ada tiga tahap utama, yakni: (1) Perencanaan (Plan), (2) Pelaksanaan (Do), dan Melihat/refleksi (See). Ketiga tahapan tersebut dilakukan secara berulang dan terus menerus (siklus).
Tahap perencanaan (Plan) bertujuan untuk menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan peserta didik secara efektif serta membangkitkan partisipasi aktif peserta didik dalam pembelajaran.
Tahap pelaksanaan (Do) dimaksudkan untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya. Salah satu anggota bertindak sebagai guru sedangkan yang lain bertindak sebagai pengamat (observer). Fokus pengamatan diarahkan pada aktivitas belajar peserta didik bukan untuk mengevaluasi penampilan guru yang sedang bertugas mengajar.
Tahap refleksi (See) dimaksudkan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pembelajaran, selanjutnya pengamat diminta menyampaikan komentar, kritik dan saran disampaikan secara bijak tanpa merendahkan atau menyakiti guru demi perbaikan.
Dalam praktiknya di sekolah, penulis (pertama kali menjadi guru pamong dengan lesson study ), terjadi miskonsepsi dan kerancuan antara lesson study dengan peer teaching, padahal yang pertama kali berperan sebagai guru model adalah guru pamong, maka fokus pengamatan mahasiswa PPL yang berperan sebagai observer bukan lagi pada proses belajar siswa tetapi pada aktivitas guru dalam mengajar.
Alhasil ketika diskusi refleksi mahasiswa PPL dengan semangat penuh idealisme menyampaikan komentar yang bersifat “menggurui” selama mengevaluasi penampilan guru pamong yang sedang bertugas mengajar mulai dari pengelolaan kelas, lama waktu memotivasi siswa, menyiapkan psikologis / mental dan fisik siswa , variasi metode dalam satu kali tatap muka, sampai pada penetapan prosentase kemampuan memori siswa tanpa mengadakan ulangan.
Di satu sisi betapa menakjubkan fenomena ini, lulusan calon guru yang akan datang mampu menerawang hasil pembelajaran tanpa melaksanakan ulangan, kemampuan ini tidak dimiliki penulis yang lulusan IKIP Negeri Malang seperempat abad tahun yang lalu (tahun 1984), di sisi lain apakah ini lesson learned bagi guru mahasiswa PPL dengan tanpa mengindahkan perasaan manusiawi guru pamong yang merasa “ digurui “ bahkan direndahkan karena disupervisi oleh mahasiswa PPL calon guru.
Sebagai guru pamong pemula di sekolah swasta yang mempunyai siswa dengan beragam latar belakang dan kemampuan akademik yang sedang, apakah harus dapat menerima masukan dari pengamat tanpa harus tersinggung ?
Semoga kejadian ini tidak terulang lagi, tidak menimpa guru pamong lainnya dan semoga di masa mendatang mahasiswa calon guru PPL dipersiapkan lebih matang untuk ber-lesson study di lapangan
Seperti yang dilakukan oleh FPMIPA Universitas Negeri Malang, mereka menggagas suatu bentuk pelaksanaan PPL yang berbasis lesson study. Model ini diperuntukan bagi Dosen Pembimbing PPL (DPL), Guru Pamong (GP), dan mahasiswa peserta PPL. Hanya saja pelaksanaan dari model ini masih perlu diukur efektivitasnya, mengingat dengan bekal pengetahuan yang minim tentang lesson study, guru pamong dan mahasiswa PPL tidak cukup mampu melaksanakan prosedur standar lesson study.
Lesson study (jugyokenyu) adalah suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran. Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus.
Dalam tahap awal pengenalan lesson study ada tiga tahap utama, yakni: (1) Perencanaan (Plan), (2) Pelaksanaan (Do), dan Melihat/refleksi (See). Ketiga tahapan tersebut dilakukan secara berulang dan terus menerus (siklus).
Tahap perencanaan (Plan) bertujuan untuk menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan peserta didik secara efektif serta membangkitkan partisipasi aktif peserta didik dalam pembelajaran.
Tahap pelaksanaan (Do) dimaksudkan untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya. Salah satu anggota bertindak sebagai guru sedangkan yang lain bertindak sebagai pengamat (observer). Fokus pengamatan diarahkan pada aktivitas belajar peserta didik bukan untuk mengevaluasi penampilan guru yang sedang bertugas mengajar.
Tahap refleksi (See) dimaksudkan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pembelajaran, selanjutnya pengamat diminta menyampaikan komentar, kritik dan saran disampaikan secara bijak tanpa merendahkan atau menyakiti guru demi perbaikan.
Dalam praktiknya di sekolah, penulis (pertama kali menjadi guru pamong dengan lesson study ), terjadi miskonsepsi dan kerancuan antara lesson study dengan peer teaching, padahal yang pertama kali berperan sebagai guru model adalah guru pamong, maka fokus pengamatan mahasiswa PPL yang berperan sebagai observer bukan lagi pada proses belajar siswa tetapi pada aktivitas guru dalam mengajar.
Alhasil ketika diskusi refleksi mahasiswa PPL dengan semangat penuh idealisme menyampaikan komentar yang bersifat “menggurui” selama mengevaluasi penampilan guru pamong yang sedang bertugas mengajar mulai dari pengelolaan kelas, lama waktu memotivasi siswa, menyiapkan psikologis / mental dan fisik siswa , variasi metode dalam satu kali tatap muka, sampai pada penetapan prosentase kemampuan memori siswa tanpa mengadakan ulangan.
Di satu sisi betapa menakjubkan fenomena ini, lulusan calon guru yang akan datang mampu menerawang hasil pembelajaran tanpa melaksanakan ulangan, kemampuan ini tidak dimiliki penulis yang lulusan IKIP Negeri Malang seperempat abad tahun yang lalu (tahun 1984), di sisi lain apakah ini lesson learned bagi guru mahasiswa PPL dengan tanpa mengindahkan perasaan manusiawi guru pamong yang merasa “ digurui “ bahkan direndahkan karena disupervisi oleh mahasiswa PPL calon guru.
Sebagai guru pamong pemula di sekolah swasta yang mempunyai siswa dengan beragam latar belakang dan kemampuan akademik yang sedang, apakah harus dapat menerima masukan dari pengamat tanpa harus tersinggung ?
Semoga kejadian ini tidak terulang lagi, tidak menimpa guru pamong lainnya dan semoga di masa mendatang mahasiswa calon guru PPL dipersiapkan lebih matang untuk ber-lesson study di lapangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar