KKM atau kriteria ketuntasan minimal atau dulu disebut SKM (standar ketuntasan minimal) merupakan sebuah acuan dalam menetapkan tingkat keberhasilan siswa dalam belajar. KKM berbentuk deretan angka-angka yang tertulis dalam rapor akhir semester siswa. Kelihatannya mudah, guru tinggal memasukkan angka saja namun sebenarnya dalam penentuan angka-angka itu bukanlah hal yang mudah.
Guru perlu melakukan analisis terhadap kompleksitas materi, daya dukung belajar, serta intake siswa terlebih dulu. Rambu-rambunya; KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran dan ditetapkan oleh forum MGMP sekolah; nilai ketuntasan maksimal adalah 100 dan dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat; dan sekolah dapat menetapkan KKM di bawah nilai ketuntasan belajar maksimal.
Rambu-rambu ini saya yakin telah diterapkan semua sekolah. Namun analisa yang dilakukan guru pada setiap kompetensi dasar (KD) per mata pelajaran, masih jarang dilakukan. Memang cukup rumit, guru harus menentukan setiap kriteria dengan nilai tinggi, sedang, atau rendah. Itu pun masih harus dijumlah, lalu dibagi dengan 0 dan dikalikan 100. Hasil akhir itulah yang merupakan nilai dari salah satu kriteria.
Penghitungan seperti itu harus dilakukan pada masing-masing kreteria, masing-masing indikator, dan pada masing-masing KD. Bila semua KD sudah mendapatkan nilai, maka rata-rata hasil penetapan nilai KD dapat menjadi nilai minimal dari mata pelajaran. Tantangannya, setiap mata pelajaran memiliki ciri-ciri tersendiri, maka hasil penetapan KKM antara pelajaran yang satu dengan yang lain tidak sama.
Demikian juga dalam lingkup sekolah yang memiliki karakteristik tersendiri, memungkinkan hasil penetapan KKM antar sekolah juga berbeda. Namun, permasalahannya bila sebagian besar sekolah menetapkan KKM pada sebagian besar mata pelajaran adalah 75 – 80 misalnya, maka maukah seorang guru/ sebuah sekolah menetapkan KKM-nya di bawah sekolah-sekolah lain?
Bila dengan jujur analis penetapan KKM yang dilakukan menghasilkan nilai 60 misalnya, maka masihkah 60 tetap dijadikan standar nilai minimal? Bila sekolah tersebut benar-benar jujur menuliskannya dalam rapor hasil belajar siswanya, berarti sekolah tersebut dengan jujur menyatakan bahwa ‘kualitas’ hasil belajar siswa di sekolahnya masih lebih rendah dibanding dengan sekolah lainnya.
Jika hal ini sampai menjadi opini mayarakat, maka daya saing sekolah juga dipandang ‘rendah’. Belum lagi tuntutan nilai untuk masuk perguruan tinggi (jalur PMDK), sudah tidak ada yang mematok nilai 60 sebagai nilai minimal, semua diatas 70. Jika sudah demikian, banyak sekolah yang menetapkan KKM dengan nilai ‘kira-kira’, yang penting output siswanya bisa diterima di perguruan tinggi, dan daya saing tetap terjaga.
Di sisi lain, jika KKM yang ditentukan terlalu tinggi bagi siswa maka ketidaktuntas belajar siswa pun menjadi tinggi. Idealnya guru harus memberikan pembelajaran remedial sampai siswa yang belum mencapai nilai minimal dapat mencapai nilai minimal. Namun, ini tidak dilakukan secara benar. Seringkali siswa cukup mendapatkan her/ ujian ulang satu kali, kemudian mendapatkan nilai ninimal sesuai KKM.
Ironis memang, bila nilai 75/80 tidak dapat mencerminkan kualitas belajar siswa yang sebenarnya. Karena itu orang tua pun sering terkecoh. Misalnya siswa yang mendapat nilai 80 oleh orang tua sudah dianggap bagus, padahal nilai tersebut adalah nilai terendah. Mungkin boleh dikatakan bahwa nilai tersebut sekualitas dengan nilai 60 sebelum ada aturan penetapan KKM (kurikulum KBK/KTSP).
Akhirnya KKM menjadi dilema, satu sisi sebuah sekolah harus memenuhi standarisasi mutu sebagaimana sekolah lainnya. Semua sekolah pasti tidak ingin diberi lebel ‘berkualitas rendah’, hanya karena KKM yang ditetapkan masih jauh lebih rendah dibanding sekolah lain Di sisi lain, sebuah sekolah yang secara kondisional masih perlu pembenahan, harus berani jujur menetapkan KKM yang sesuai dengan hasil analisis.
Untuk diperlukan sikap bijaksana para personil pendidikan di sekolah, agar nilai KKM benar-benar mencerminkan tingkat keberhasilan minimal siswa dalam belajar. Tidak harus KKM saja yang harus tinggi/ditingkatkan, tetapi yang lebih penting adalah teknik-teknik pembelajaran yang efektif, yang menarik perhatian siswa, serta keseriusan kepala sekolah/guru dalam menyelesaikan permasalahan belajar anak didik. (*)
Guru perlu melakukan analisis terhadap kompleksitas materi, daya dukung belajar, serta intake siswa terlebih dulu. Rambu-rambunya; KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran dan ditetapkan oleh forum MGMP sekolah; nilai ketuntasan maksimal adalah 100 dan dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat; dan sekolah dapat menetapkan KKM di bawah nilai ketuntasan belajar maksimal.
Rambu-rambu ini saya yakin telah diterapkan semua sekolah. Namun analisa yang dilakukan guru pada setiap kompetensi dasar (KD) per mata pelajaran, masih jarang dilakukan. Memang cukup rumit, guru harus menentukan setiap kriteria dengan nilai tinggi, sedang, atau rendah. Itu pun masih harus dijumlah, lalu dibagi dengan 0 dan dikalikan 100. Hasil akhir itulah yang merupakan nilai dari salah satu kriteria.
Penghitungan seperti itu harus dilakukan pada masing-masing kreteria, masing-masing indikator, dan pada masing-masing KD. Bila semua KD sudah mendapatkan nilai, maka rata-rata hasil penetapan nilai KD dapat menjadi nilai minimal dari mata pelajaran. Tantangannya, setiap mata pelajaran memiliki ciri-ciri tersendiri, maka hasil penetapan KKM antara pelajaran yang satu dengan yang lain tidak sama.
Demikian juga dalam lingkup sekolah yang memiliki karakteristik tersendiri, memungkinkan hasil penetapan KKM antar sekolah juga berbeda. Namun, permasalahannya bila sebagian besar sekolah menetapkan KKM pada sebagian besar mata pelajaran adalah 75 – 80 misalnya, maka maukah seorang guru/ sebuah sekolah menetapkan KKM-nya di bawah sekolah-sekolah lain?
Bila dengan jujur analis penetapan KKM yang dilakukan menghasilkan nilai 60 misalnya, maka masihkah 60 tetap dijadikan standar nilai minimal? Bila sekolah tersebut benar-benar jujur menuliskannya dalam rapor hasil belajar siswanya, berarti sekolah tersebut dengan jujur menyatakan bahwa ‘kualitas’ hasil belajar siswa di sekolahnya masih lebih rendah dibanding dengan sekolah lainnya.
Jika hal ini sampai menjadi opini mayarakat, maka daya saing sekolah juga dipandang ‘rendah’. Belum lagi tuntutan nilai untuk masuk perguruan tinggi (jalur PMDK), sudah tidak ada yang mematok nilai 60 sebagai nilai minimal, semua diatas 70. Jika sudah demikian, banyak sekolah yang menetapkan KKM dengan nilai ‘kira-kira’, yang penting output siswanya bisa diterima di perguruan tinggi, dan daya saing tetap terjaga.
Di sisi lain, jika KKM yang ditentukan terlalu tinggi bagi siswa maka ketidaktuntas belajar siswa pun menjadi tinggi. Idealnya guru harus memberikan pembelajaran remedial sampai siswa yang belum mencapai nilai minimal dapat mencapai nilai minimal. Namun, ini tidak dilakukan secara benar. Seringkali siswa cukup mendapatkan her/ ujian ulang satu kali, kemudian mendapatkan nilai ninimal sesuai KKM.
Ironis memang, bila nilai 75/80 tidak dapat mencerminkan kualitas belajar siswa yang sebenarnya. Karena itu orang tua pun sering terkecoh. Misalnya siswa yang mendapat nilai 80 oleh orang tua sudah dianggap bagus, padahal nilai tersebut adalah nilai terendah. Mungkin boleh dikatakan bahwa nilai tersebut sekualitas dengan nilai 60 sebelum ada aturan penetapan KKM (kurikulum KBK/KTSP).
Akhirnya KKM menjadi dilema, satu sisi sebuah sekolah harus memenuhi standarisasi mutu sebagaimana sekolah lainnya. Semua sekolah pasti tidak ingin diberi lebel ‘berkualitas rendah’, hanya karena KKM yang ditetapkan masih jauh lebih rendah dibanding sekolah lain Di sisi lain, sebuah sekolah yang secara kondisional masih perlu pembenahan, harus berani jujur menetapkan KKM yang sesuai dengan hasil analisis.
Untuk diperlukan sikap bijaksana para personil pendidikan di sekolah, agar nilai KKM benar-benar mencerminkan tingkat keberhasilan minimal siswa dalam belajar. Tidak harus KKM saja yang harus tinggi/ditingkatkan, tetapi yang lebih penting adalah teknik-teknik pembelajaran yang efektif, yang menarik perhatian siswa, serta keseriusan kepala sekolah/guru dalam menyelesaikan permasalahan belajar anak didik. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar