Kamis, 19 Agustus 2010

Eduwisata Menuju Kewirausahaan Sekolah

Secara umum, eduwisata dapat dimaknai sebagai sebuah kegiatan rekreatif yang menghadirkan dunia pendidikan (sekolah) sebagai produk unggulan. Jadi sekolah tidak hanya berorientasi mengajar dan mendidik siswa sesuai kurikulum. Layaknya tempat wisata, sekolah juga memiliki peran memberikan pelayanan dan menghadirkan produk unggulan yang layak dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat.
Dengan budaya daerah, fasilitas, bahkan intake siswa yang berbeda, tentun sekolah menghasilkan output yang berbeda pula. Tidak akan pernah bisa disamakan lulusan sekolah yang berlokasi di pusat kota dengan lulusan sekolah di daerah pinggiran. Oleh karena memiliki latar belakang yang berbeda inilah maka hendaknya setiap sekolah dapat memberikan ’obyek wisata’ yang berbeda pula.
Konsep eduwisata sangat erat kaitannya dengan potensi lokal sekolah tersebut. Bahkan dengan penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) secara serius, akan memberikan brand/merk yang berbeda-beda pada masing masing sekolah. Namun yang perlu dicatat disini adalah, bahwa sekolah perlu membuat branding yang mendukung proses belajar mengajar.
Dengan kata lain, bahwa ’obyek wisata’ yang disuguhkan oleh sekolah merupakan salah satu bagian dari serangkaian proses belajar mengajar yang ditempuh, termasuk juga representasi muatan lokal dan atau ekstra kurikuler yang diselenggarakan di sekolah tersebut.
Eduwisata yang sempurna sebenarnya telah dipraktekkan oleh beberapa sekolah. Misalnya di SMPN 3 Lembang – Bandung. Di sekolah yang merupakan hasil perubahan dari STP (Sekolah Teknik Pertanian = sekolah kejuruan di tingkat SMP) ini tetap mengedepankan bidang pertanian sebagai unggulan yang dimiliki SMP tersebut.
Didukung oleh peralatan pertanian yang memadai dan lahan pertanian milik sekolah yang luas, memungkinkan SMPN 3 Lembang mengembangkan bidang pertanian sebagai ’obyek wisata’ unggulan sekolah. Apalagi sekolah tersebut menerapkan sektor budidaya pertanian (agronomi) sebagai ekstra kurikuler yang diberlakukan di sekolah, maka tepatlah bila sekolah ini memiliki brand / merk sebagai SMP yang tidak hanya menghasilkan output yang memiliki life skill di bidang pertanian, tetapi juga sekolah yang mampu mandiri dengan usaha sekolah di bidang pertanian.
Untuk sekolah di daerah pinggiran, pelaksanaan konsep eduwisata hendaknya diawali dengan mengidentifikasi potensi lokal sekolah tersebut yang layak untuk dikembangkan. Misalnya untuk sekolah di daerah pesisir pantai, bisa mengembangkan sektor perikanan sebagai ’obyek wisata’ yang bisa dijual ke masyarakat. Budidaya perikanan, atau pengolahan hasil laut bisa dikembangkan sebagai ekstra kurikuler sekaligus membangun brand sekolah tersebut sebagai sekolah di daerah pesisir pantai.
Mengingat besarnya tantangan kita, para pendidik di masa mendatang, penulis beranggapan bahwa sudah saatnya para guru dan sekolah untuk ’melek bisnis’. Kita harusnya malu, bila pendidikan selalu diidentikkan dengan sebuah sektor yang selalu perlu dibantu dan dikasihi. Seakan tanpa uang BOS (Bantuan Operasional Sekolah) seluruh sekolah di Indonesia akan gulung tikar.
Seakan kalangan guru dan masyarakat pendidikan lainnya selalu menjadi pihak lemah yang perlu terus disubsidi. Namun demikian pengertian ’melek bisnis’ bukan berarti menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis guru pada siswanya. Istilah lainnya adalah DIKTATOR = jual diktat (untuk) kredit motor. Ya. Melek bisnis bukan berarti para guru harus jualan buku/LKS untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tetapi hendaknya diartikan sebagai sebuah upaya sekolah untuk mengelola potensi yang ada supaya bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan sumber pendapatan tambahan bagi sekolah.
Sudah selayaknyalah kita menyadari bahwa peran pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah ansich, tetapi juga menjadi tugas kita sebagai warga negara. Karena itu penulis memandang bahwa sudah saatnya ’virus’ enterpreneurship dalam bingkai EDUWISATA menjangkiti sekolah di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar