Pendidikan agama sebagai satu disiplin ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah selama ini dipengaruhi oleh pandangan dualisme pendidikan yang bersifat dikotomik. Implikasinya segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non-agama atau pendidikan umum. Implikasi lebih jauh pendidikan agama Islam mengalami penyempitan makna yang hanya mengurus sekitar “kehidupan ukhrawi” yang dianggap terpisah dari “kehidupan duniawi”.
Dari sini, kemudian tercipta wacana bahwa Pendidikan Agama Islam hanya mengajarkan persoalan ritual dan spiritual, sedangkan kehidupan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seterusnya dianggap sebagai urusan duniawi, bukan garapan pendidikan pendidikan agama. Dari sini pula, muncul istilah “pendidikan agama” dan “pendidikan umum”, atau “ilmu agama” dan “ilmu umum”, dan seterusnya (Hujair AH. Sanaky, 2003: 96-97).
Pada tingkat kelembagaan pun muncul lembaga pendidikan agama berbentuk madrasah dengan ilmu tradisional (Islam) mulai dari tingkat ibtidaiyah, hingga perguruan tinggi agama (PTA) yang dalam penilaian umum dianggap kurang berkualitas, dan lembaga pendidikan umum berbentuk sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi umum (PTU) melalui pengajaran ilmu-ilmu sekuler modern (umum), dinilai oleh umum lebih berkualitas, dan banyak diminati.
Dualisme pendidikan yang bersifat dikhotomik antara pendidikan agama yang menghasilkan “ilmu agama” dan pendidikan umum yang menghasilkan “ilmu umum”, merupakan warisan pendidikan imperialis Belanda, menjadi penyebab utama kerancuan dan kesenjangan pendidikan di Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Inilah salah satu sebab utama yang membuat bangsa Indonesia yang mengklaim diri bangsa Muslim terbesar dunia, mengalami kemunduran di level apapun, M. Amin Abdullah, 2004: 62). Karenanya perlu dibenahi dengan pola integratif-interkonektif antar bidang studi. Pendidikan agama perlu terintegrasi dan interkoneksi dengan disiplin ilmu lain sehingga terjadi keselarasan antara pandangan agama dengan temua-temuan obyektif ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat umum, tidak paradoks antara kesadaran agama dan ilmu pengetahuan umum. Dengan demikian usaha menjadikan nilai-nilai agama menjadi dasar bagi perkembangan sains atau ilmu pengetahuan pada umumnya, seperti yang dicita-citakan oleh tujuan pendidikan nasional dapat terjangkau. Di samping itu pendidikan sains akan lebih memperkuat eksistensi dan posisi pendidikan agama.
Hampir setiap sekolah di Indonesia mengenal isitilah “Integrasi IMTAQ dan IPTEK”, dan menjadi visi-misi lembaganya. Sebagian besar guru mata pelajaran non-pendidikan agama telah mendapatkan pelatihan nasional tentang pengintegrasian nilai-nilai IMTAQ ke dalam setiap mata pelajaran yang menjadi kewenangan profesinya (IPTEK), walau belum diimbangi pelatihan pengintegrasian wawasan IPTEK bagi pengajar agama. Sekalipun hasil pelatihan tersebut belum ada data komprehensif di lapangan, namun integrasi-interkoneksi antar disiplin ilmu telah menjadi trend dalam atmosfer pendidikan nasional.
Pengintegrasian, atau ada pula yang menyebut lebih tepat penginterkoneksian antara nilai IMTAQ dan IPTEK tidaklah mudah karena menyangkut realitas sejarah yang panjang dan epistimologi ilmu yang kompleks. Hingga kini masih kuat anggapan dalam masyarakat luas bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan maupun status teori masing-masing, bahkan ke institusi penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu. Begitulah gambaran praktek pendidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air dengan berbagai dampak negative yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas.
Sebagian pemikir tidak sepakat dengan kategorisasi ilmu agama dan ilmu umum, sebab istilah umum adalah lawan dari kata khusus. Sedangkan agama, khsusunya Islam tidak benar dikategorikan khusus, karena lingkup ajarannya begitu luas membahas berbagai segi kehidupan (termasuk alam semesta). Jika keduanya dipandang sebagai ilmu, maka agama adalah ilmu yang bersumber pada wahyu Tuhan, sedang ilmu umum berasal dari manusia. Kedua jenis ilmu yang berasal dari sumber yang berbeda itu itu harus dikaji secara bersama-sama secara simultan.
Walaupun pembagian pendidikan agama menghasilkan ilmu agama dan pendidikan umum menghasilkan ilmu umum sah-sah saja bagi yang mau demikian khususnya dalam tradisi Barat agar ilmu apapun termasuk ilmu sosial harus objektif, tidak terpengaruh oleh tradisi, ideology, agama maupun golongan, (dan memang benar harus demikian), namun bagi Indonesia yang terkenal religious sejak zaman dulu, merupakan kontra produktif dalam hidup, dan mengandung bahaya. Pendidikan semestinya mampu mengangkat harkat - martabat kehidupan manusia dan bangsa secara utuh, bukan sebaliknya menjadi pemicu ketimpangan dan benturan di antara sesama bangsa sendiri karena penguasaan ilmu yang tidak komprehensif. Standar pribadi seorang WNI adalah ia benar-benar mengetahui dan taat dengan ajaran agamanya masing-masing, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus. Memahami agama dengan benar dan memiliki sains dengan benar merupakan suatu perintah yang diajarkan oleh Tuhan. Karenanya, agama dan ilmu bersumber dari sumber yang sama yaitu Dzat Yang Maha Mencipta, sehingga agama dan ilmu (sains), tidak terpisah dan dipertentangkan. Bahkan kebenaran sains adalah fakta dan data dari kebenaran agama yang telah diterangkan dalam teks-teks kitab suci-Nya.
Dari sini, kemudian tercipta wacana bahwa Pendidikan Agama Islam hanya mengajarkan persoalan ritual dan spiritual, sedangkan kehidupan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seterusnya dianggap sebagai urusan duniawi, bukan garapan pendidikan pendidikan agama. Dari sini pula, muncul istilah “pendidikan agama” dan “pendidikan umum”, atau “ilmu agama” dan “ilmu umum”, dan seterusnya (Hujair AH. Sanaky, 2003: 96-97).
Pada tingkat kelembagaan pun muncul lembaga pendidikan agama berbentuk madrasah dengan ilmu tradisional (Islam) mulai dari tingkat ibtidaiyah, hingga perguruan tinggi agama (PTA) yang dalam penilaian umum dianggap kurang berkualitas, dan lembaga pendidikan umum berbentuk sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi umum (PTU) melalui pengajaran ilmu-ilmu sekuler modern (umum), dinilai oleh umum lebih berkualitas, dan banyak diminati.
Dualisme pendidikan yang bersifat dikhotomik antara pendidikan agama yang menghasilkan “ilmu agama” dan pendidikan umum yang menghasilkan “ilmu umum”, merupakan warisan pendidikan imperialis Belanda, menjadi penyebab utama kerancuan dan kesenjangan pendidikan di Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Inilah salah satu sebab utama yang membuat bangsa Indonesia yang mengklaim diri bangsa Muslim terbesar dunia, mengalami kemunduran di level apapun, M. Amin Abdullah, 2004: 62). Karenanya perlu dibenahi dengan pola integratif-interkonektif antar bidang studi. Pendidikan agama perlu terintegrasi dan interkoneksi dengan disiplin ilmu lain sehingga terjadi keselarasan antara pandangan agama dengan temua-temuan obyektif ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat umum, tidak paradoks antara kesadaran agama dan ilmu pengetahuan umum. Dengan demikian usaha menjadikan nilai-nilai agama menjadi dasar bagi perkembangan sains atau ilmu pengetahuan pada umumnya, seperti yang dicita-citakan oleh tujuan pendidikan nasional dapat terjangkau. Di samping itu pendidikan sains akan lebih memperkuat eksistensi dan posisi pendidikan agama.
Hampir setiap sekolah di Indonesia mengenal isitilah “Integrasi IMTAQ dan IPTEK”, dan menjadi visi-misi lembaganya. Sebagian besar guru mata pelajaran non-pendidikan agama telah mendapatkan pelatihan nasional tentang pengintegrasian nilai-nilai IMTAQ ke dalam setiap mata pelajaran yang menjadi kewenangan profesinya (IPTEK), walau belum diimbangi pelatihan pengintegrasian wawasan IPTEK bagi pengajar agama. Sekalipun hasil pelatihan tersebut belum ada data komprehensif di lapangan, namun integrasi-interkoneksi antar disiplin ilmu telah menjadi trend dalam atmosfer pendidikan nasional.
Pengintegrasian, atau ada pula yang menyebut lebih tepat penginterkoneksian antara nilai IMTAQ dan IPTEK tidaklah mudah karena menyangkut realitas sejarah yang panjang dan epistimologi ilmu yang kompleks. Hingga kini masih kuat anggapan dalam masyarakat luas bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan maupun status teori masing-masing, bahkan ke institusi penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu. Begitulah gambaran praktek pendidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air dengan berbagai dampak negative yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas.
Sebagian pemikir tidak sepakat dengan kategorisasi ilmu agama dan ilmu umum, sebab istilah umum adalah lawan dari kata khusus. Sedangkan agama, khsusunya Islam tidak benar dikategorikan khusus, karena lingkup ajarannya begitu luas membahas berbagai segi kehidupan (termasuk alam semesta). Jika keduanya dipandang sebagai ilmu, maka agama adalah ilmu yang bersumber pada wahyu Tuhan, sedang ilmu umum berasal dari manusia. Kedua jenis ilmu yang berasal dari sumber yang berbeda itu itu harus dikaji secara bersama-sama secara simultan.
Walaupun pembagian pendidikan agama menghasilkan ilmu agama dan pendidikan umum menghasilkan ilmu umum sah-sah saja bagi yang mau demikian khususnya dalam tradisi Barat agar ilmu apapun termasuk ilmu sosial harus objektif, tidak terpengaruh oleh tradisi, ideology, agama maupun golongan, (dan memang benar harus demikian), namun bagi Indonesia yang terkenal religious sejak zaman dulu, merupakan kontra produktif dalam hidup, dan mengandung bahaya. Pendidikan semestinya mampu mengangkat harkat - martabat kehidupan manusia dan bangsa secara utuh, bukan sebaliknya menjadi pemicu ketimpangan dan benturan di antara sesama bangsa sendiri karena penguasaan ilmu yang tidak komprehensif. Standar pribadi seorang WNI adalah ia benar-benar mengetahui dan taat dengan ajaran agamanya masing-masing, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus. Memahami agama dengan benar dan memiliki sains dengan benar merupakan suatu perintah yang diajarkan oleh Tuhan. Karenanya, agama dan ilmu bersumber dari sumber yang sama yaitu Dzat Yang Maha Mencipta, sehingga agama dan ilmu (sains), tidak terpisah dan dipertentangkan. Bahkan kebenaran sains adalah fakta dan data dari kebenaran agama yang telah diterangkan dalam teks-teks kitab suci-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar