Pada pertengahan 1990 di Indonesia mulai muncul istilah sekolah unggul (excellent schools) yang tumbuh bagaikan jamur. Perkembangan ini pada awalnya dirintis oleh sekolah-sekolah swasta, dengan ditandai biaya yang tinggi, fasilitas yang serba mewah, elitis, eksklusif, dan dikelola oleh tenaga-tenaga yang di asumsikan profesional. Padahal sebenarnya sekolah-sekolah yang berorientasi elitis-eklusif ini pada dasarnya belum teruji keprofesionalannya.
Indikasinya, terbukti dari adanya temuan penelitian Steenbrink (1986). Kemudian dipertengahan tahun 2006 pemerintah mulai menggalakkan sekolah-sekolah negeri/swasta untuk dijadikan sekolah bertaraf International (SBI). Gerakan keterunggulan (excellence movement) ini kemudian dikembangkan dan diejawantahkan oleh pengelola pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) dalam bentuk-bentuk sekolah yang mempunyai trademark di masyarakat, yang corak dan ragamnya kini sedang berkembang dan menjamur.
Misalnya; sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), full day school, dan Boarding School serta label-label lain yang pada umumnya melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul” (Arifin, 2001).
Dalam situasi pendidikan yang demikian, kita selaku praktisi pendidikan dan nantinya sebagai pengguna jasa-jasa pendidikan tersebut, haruslah pandai-pandai memilih dan memilah, dengan mengobservasi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk bergabung atau menyekolahkan putra-putri kita ke sekolah yang di katakan unggul tersebut, lebih-lebih yang berlabel modern ataupun Internastional.
Memasuki era pasar bebas kita dituntut untuk mampu bersaing dengan negara lain, khususnya negara-negara maju, akan tetapi tingkat pendidikan di negara kita masih rendah, sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang kurang kompeten dibidangnya dan hanya mampu membentuk ilmuan yang tidak utuh (kurang berkualitas).
Disatu pihak mempunyai pemahaman keilmuan yang cukup sebagai cendikiawan, namun disisi lain sangat kurang pemahaman agamanya. Sebaliknya para ulama sangat baik pemahaman agamanya akan tetapi sangat kurang sekali pemahaman IPTEKnya. Ketidakutuhan tersebut mengakibatkan dampak negatif yang sangat luas di masyarakat.
Hal ini sangat terasa sekali ketika dua komponen yang masing-masing tidak utuh tersebut mendapat kepercayaan untuk memangku jabatan publik, sehingga mengakibatkan bangsa kita sangat terpuruk dan terasa kurang bermoral dengan julukan bangsa terkurup di dunia.
Keterpurukan bangsa ini dapat kita lihat bersama melalui temuan penelitian dari beberapa agensi Internasional menyatakan, bahwa Indonesia masih menghadapi problem dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM Indonesia menurut UNDP, pada tahun 2000 menempati urutan ke 109 di antara 174 negara yang dikaji. Posisi ini jauh di bawah Singapura (24), Malaysia (61), Thailand (76), dan Philipina (77).
Bahkan data terakhir pada tahun 2002 urutan SDM Indonesia berada pada posisi ke 112 dari 174 negara yang dikaji. Kondisi ini berkorelasi sangat signifikan dengan kualitas pendidikan. Survey PERC (the political and economics risk consultancy), mendapatkan bukti bahwa kualitas pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 12 di antara 12 negara Asia.
Menjawab fenomena tersebut, lembaga pendidikan berbasis Boarding (berasrama) sekali lagi dianggap mampu meningkatkan kualitas SDM disisi lain, serta mampu mengkombinasikan pemahaman keilmuan dan agama secara utuh, sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dengan pemahaman agama yang baik.
Fakta lain menunjukkan, sains dan teknologi telah menjadi realitas sosial yang tak dapat dihindarkan lagi. Setiap sisi kehidupan umat manusia selalu terkait dan tersentuh oleh keberadaannya. Sayangnya, kemajuan sains dan teknologi bukanlah sesuatu yang independen, karena pada kenyataannya senantiasa membawa dampak positif dan negatif sekaligus.
Hal ini dibuktikan dengan kecenderungan merebaknya dekadensi moral di segenap lapisan masyarakat, salah satunya disinyalir karena kemajuan sains-teknologi yang secara tidak langsung menyeret generasi muda kedalam kehidupan yang hedonis, materialistik dan konsumtif, sehingga nilai-nilai keagamaan dan etika yang dianut generasi sebelumnya pelan-pelan terpojokkan untuk kemudian dilupakan sama sekali.
Indikasinya, terbukti dari adanya temuan penelitian Steenbrink (1986). Kemudian dipertengahan tahun 2006 pemerintah mulai menggalakkan sekolah-sekolah negeri/swasta untuk dijadikan sekolah bertaraf International (SBI). Gerakan keterunggulan (excellence movement) ini kemudian dikembangkan dan diejawantahkan oleh pengelola pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) dalam bentuk-bentuk sekolah yang mempunyai trademark di masyarakat, yang corak dan ragamnya kini sedang berkembang dan menjamur.
Misalnya; sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), full day school, dan Boarding School serta label-label lain yang pada umumnya melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul” (Arifin, 2001).
Dalam situasi pendidikan yang demikian, kita selaku praktisi pendidikan dan nantinya sebagai pengguna jasa-jasa pendidikan tersebut, haruslah pandai-pandai memilih dan memilah, dengan mengobservasi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk bergabung atau menyekolahkan putra-putri kita ke sekolah yang di katakan unggul tersebut, lebih-lebih yang berlabel modern ataupun Internastional.
Memasuki era pasar bebas kita dituntut untuk mampu bersaing dengan negara lain, khususnya negara-negara maju, akan tetapi tingkat pendidikan di negara kita masih rendah, sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang kurang kompeten dibidangnya dan hanya mampu membentuk ilmuan yang tidak utuh (kurang berkualitas).
Disatu pihak mempunyai pemahaman keilmuan yang cukup sebagai cendikiawan, namun disisi lain sangat kurang pemahaman agamanya. Sebaliknya para ulama sangat baik pemahaman agamanya akan tetapi sangat kurang sekali pemahaman IPTEKnya. Ketidakutuhan tersebut mengakibatkan dampak negatif yang sangat luas di masyarakat.
Hal ini sangat terasa sekali ketika dua komponen yang masing-masing tidak utuh tersebut mendapat kepercayaan untuk memangku jabatan publik, sehingga mengakibatkan bangsa kita sangat terpuruk dan terasa kurang bermoral dengan julukan bangsa terkurup di dunia.
Keterpurukan bangsa ini dapat kita lihat bersama melalui temuan penelitian dari beberapa agensi Internasional menyatakan, bahwa Indonesia masih menghadapi problem dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM Indonesia menurut UNDP, pada tahun 2000 menempati urutan ke 109 di antara 174 negara yang dikaji. Posisi ini jauh di bawah Singapura (24), Malaysia (61), Thailand (76), dan Philipina (77).
Bahkan data terakhir pada tahun 2002 urutan SDM Indonesia berada pada posisi ke 112 dari 174 negara yang dikaji. Kondisi ini berkorelasi sangat signifikan dengan kualitas pendidikan. Survey PERC (the political and economics risk consultancy), mendapatkan bukti bahwa kualitas pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 12 di antara 12 negara Asia.
Menjawab fenomena tersebut, lembaga pendidikan berbasis Boarding (berasrama) sekali lagi dianggap mampu meningkatkan kualitas SDM disisi lain, serta mampu mengkombinasikan pemahaman keilmuan dan agama secara utuh, sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dengan pemahaman agama yang baik.
Fakta lain menunjukkan, sains dan teknologi telah menjadi realitas sosial yang tak dapat dihindarkan lagi. Setiap sisi kehidupan umat manusia selalu terkait dan tersentuh oleh keberadaannya. Sayangnya, kemajuan sains dan teknologi bukanlah sesuatu yang independen, karena pada kenyataannya senantiasa membawa dampak positif dan negatif sekaligus.
Hal ini dibuktikan dengan kecenderungan merebaknya dekadensi moral di segenap lapisan masyarakat, salah satunya disinyalir karena kemajuan sains-teknologi yang secara tidak langsung menyeret generasi muda kedalam kehidupan yang hedonis, materialistik dan konsumtif, sehingga nilai-nilai keagamaan dan etika yang dianut generasi sebelumnya pelan-pelan terpojokkan untuk kemudian dilupakan sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar